bakabar.com, JAKARTA – Monopoli tak terelakkan, kawasan Sudirman yang semula cuma dijejali remaja tanggung dari pinggiran Jakarta, kini mendadak jadi lautan manusia yang rela mengantre demi ambil bagian di catwalk dadakan.
Masih lekat dalam ingatan, betapa hebohnya jagat maya ketika segerombolan remaja dengan fesyen eksentrik berkumpul di kawasan elite ibu kota. Gaya berpakaian mereka serupa: outfit bernuansa hitam yang dipadu dengan celana baggy, serta dilengkapi aksesoris berupa kalung dan sarung tangan.
Remaja yang dikenal dengan sebutan 'SCBD', atau Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok, ini mengenakan pakaian seadanya, bukan keluaran brand ternama. Ramainya bocah pinggiran Jakarta yang berlenggak-lenggok bak model di bilangan Dukuh Atas, Sudirman, itu lantas mencetuskan langgam Citayam Fashion Week (CFW).
Fenomena CFW sontak menjadi bahan olokan di kalangan netizen yang 'budiman'. Dengan entengnya, mereka melontarkan hujatan kepada bocah berbusana nyentrik, yang notabene masih berada dalam fase mencari jati dirinya.
Tak sedikit yang senewen soal embel-embel fashion dalam ajang tersebut. Mereka menilai, fashion show mestinya identik dengan brand-brand kelas atas. Paradoks inilah yang menjadi landasan atas hujatan terkait CFW.
Padahal, tren busana bukan cuma milik si borjuis. Semua lapisan sosial bisa mengekspresikan gayanya dengan bebas, tanpa bias kelas. Eksistensi CFW justru menjadi upaya nyata dalam melakukan dekonstruksi terhadap barang-barang fesyen yang tak bisa dijangkau kalangan middle-upper class.
Busana yang dikenakan remaja pinggiran ibu kota itu mengartikulasikan kreativitas dalam mode berpakaian, tanpa adanya merek beken. Mereka ingin memperkenalkan urban street fashion sebagai identitasnya, yang selama ini termarjinalkan, tak digubris, dan tak pernah diakomodasi media populer.
CFW merupakan wadah aspirasi bagi para remaja untuk unjuk diri. Fenomena ini merupakan segelintir contoh gagasan anak muda yang tak mendapat tempat dari budaya mainstream. Mereka melihat secercah harapan dari ruang publik baru, yang selama ini diprioritaskan untuk kalangan elite.
Mulai Digubris, tapi Malah Jadi Lapak Kapitalis
Seiring berjalannya waktu, pamor Citayam Fashion Week makin berkibar. Bukan cuma remaja pinggiran Jakarta yang kini mejeng, sederet selebritis dan influencer pun turut berpartisipasi dalam ajang ini.
Namun, kalangan atas itu tak hanya sekadar berpose dan melenggokkan tubuhnya bak model. Mereka mulai memonetisasi, bahkan memonopoli fashion show ini. Entah itu membuat konten, atau dengan menjajakan brand pakaiannya sendiri.
Lebih ekstremnya lagi, sebuah perusahaan milik artis kenamaan Indonesia, Wong Tiger Entertainment, mendaftarkan brand Citayam Fashion Week sebagai Kekayaan Intelektual. Merek tersebut didaftarkan sebagai hak barang jasa hiburan dalam sifat peragaan busana.
Hal ini berarti, perusahaan milik Baim Wong dan Paula Verhoven itu berhak memproduksi podcast dan video online di bidang mode organisasi peragaan busana, pelaksanaan pameran, peragaan busana, serta pameran kebudayaan untuk tujuan hiburan.
"Created by the poor, stolen by the rich." Begitulah ungkapan yang kini dilontarkan netizen kepada kalangan atas terkait beralihfungsinya CFW. Ajang yang semula menjadi ruang bagi remaja untuk berekspresi, sekarang malah menjadi lahan untuk mengais pundi-pundi rezeki. (Nurisma)