bakabar.com, JAKARTA – "Orang 'itu' telah membuat polisi sibuk selama lebih dari enam bulan. Semua orang takut padanya dan menggigil begitu mendengar namanya, sementara orang-orang biasa menyerah pada setiap permintaannya."
Demikianlah surat kabar berbahasa Belanda, De Locomotief, merawikan sosok perampok bengis yang suka minum tuak: Pitung. Namanya melegenda seantero Nusantara, lantaran kerap mencuri harta para borjuis, lalu membagikannya kepada rakyat tertindas - bak Robin Hood dalam tradisi lisan Inggris.
Menurut riwayat yang dituturkan turun temurun, Pitung lahir dengan nama asli Salihun, sekira tahun 1864 di Desa Pengumben, Rawa Belong, Jakarta Barat. Anak bungsu dari pasangan Bang Piun dan Mbak Pinah ini tumbuh di bawah bimbingan Haji Naipin.
Haji Naipin, yang merupakan guru di Pesantren Menes, Kampung Rawa Bebek - tempat Salihun menimba ilmu - mengajarinya ilmu beladiri dan pelbagai macam ilmu sakti. Aji-aji ini lantas menjadi bekal bagi Salihun guna melancarkan aksi Robin Hood-nya.
'Penindasan' Dibalas 'Penindasan'
Kabar mengenai aksi jagoan Pitung yang meluas ke seantero Nusantara bermula tatkala dirinya dirampok. Lebih tepatnya, saat Salihun tengah berjalan pulang dari pasar Tanah Abang, uang hasil menjual kambing titipan ayahnya raib dicuri orang.
Dengan bantuan teman-temannya yang sesama jagoan, Salihun langsung melacak keberadaan sang pencuri. Sejak saat itulah, dia memutuskan untuk mengganti nama menjadi Pitung.
Sumber kontemporer menuturkan, Pitung mulanya bukan serta-merta merampok kaum borjuis. Malahan, dia mulai mencuri dari petani di sekitar tanah partikelir di Ommelanden - sekarang Jabodetabek - atau kawasan luar tembok Batavia.
Kala itu, dirinya hanya mencuri ternak dan hasil bumi para petani. Namun, entah apa yang mengilhami Pitung, lambat laun dia dan kelompoknya turut menargetkan orang-orang kaya, untuk dirampok sebagai bentuk intimidasi.
Bandit Sosial yang Suka Menyamar
Margreet van Till dalam Banditry in West Java: 1869-1942 menuturukan aksi kriminal Pitung pertama kali mendapat sorotan media. Sekira bulan Juni 1892, surat kabar berbahasa Melayu, Hindia Olanda, melaporkan bahwa schout (kepala polisi wilayah) tengah menggerebek sebuah rumah.
Usut punya usut, rumah yang berlokasi di kampung Sukabumi, selatan Batavia, itu adalah milik seorang pencuri bernama Bitoeng. Alangkah terkejutnya polisi ketika menemukan alat-alat penyamaran berupa seragam petugas administrasi dan dinas kepolisian.
Petugas yang melakukan penggerebekan itu menduga, barang-barang tersebut digunakan Pitung dan kelompoknya dalam setiap aksi pencurian: mereka merampok dengan cara menyamar menjadi polisi pribumi yang bekerja untuk pemerintah kolonial.
Kendati hampir ketahuan, Pitung tak merasa kapok atas aksi kriminalnya. Dia bersama lima orang temannya, bahkan kembali melancarkan perampokan pada 30 Juli 1892. Aksi tersebut berlangsung di sebuah rumah milik saudagar Bugis bernama Haji Safiuddin.
Lagi-lagi, Hindia Olanda memberitakan peristiwa ini. Berdasarkan laporan tersebut, aksi Pitung saat itu malah makin menjadi. Perampokan kali ini diwarnai kekerasan dengan menembakkan revolver guna meneror korban dan warga sekitar.
Van Till menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan Pitung itu tak padang jenis kelamin dan etnik. Misalnya saja, seorang pedagang di Kali Besar, Nyonya De C, dan seorang gadis pribumi bernama Mie, menambah daftar panjang korban dari aksi perampokan Pitung.
Pemberitaan Makin Santer, Pitung Makin Beken
Kelakuan Pitung yang dianggap meresahkan orang kaya, membuat dirinya menjadi musuh bebuyutan penjajah Belanda. Saking sulitnya ditangkap, para kompeni bahkan mengadakan sayembara.
'Barangsiapa yang berhasil menangkap Pitung, akan diberikan imbalan.' Begitu kiranya bunyi sayembara yang diagungkan kompeni Belanda. Namun, hasilnya tetap nihil. Pitung selalu berhasil meloloskan diri, meski berkali-kali dikepung orang Belanda.
Selang setahun empat bulan usai perampokan pertamanya diwartakan, Pitung pun dijebak dan akhirnya ditembak mati oleh seorang polisi bernama Adolf Wilhelm Verbond Hinne di sebuah pemakaman di Tanah Abang.
Kabar mengenai tewasnya Robin Hood Betawi ini langsung dimuat dalam surat kabar De Locomotief edisi 19 Oktober 1893. Sehari setelah pemberitaan itu, Hindia Olanda edisi 20 Oktober 1893 kembali mewartakan sebuah lokasi yang diduga makam Pitung ramai didatangi sekelompok peziarah.
Menurut Van Till, pemberitaan besar-besaran yang diterima Pitung, baik selama masa buron maupun sampai akhir hayatnya, justru memengaruhi cara berpikir masyarakat Batavia dan sekitar - tentunya dalam konotasi positif.
Memasuki awal abad ke-20, Pitung masih cukup populer di kalangan masyarakat pribumi sekitar Batavia. Popularitasnya bahkan turut dirayakan oleh orang-orang Tionghoa dari kalangan bawah.
Hal ini kemudian dimanfaatkan Wong Bersaudara, pembuat film masa pra-kemerdekaan, dengan mengangkat kisah Pitung untuk pertama kalinya ke layar perak pada 1931. (Nurisma)