bakabar.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Denny Indrayana melihat upaya kriminalisasi di balik kisruh saham PT Citra Lampia Mandiri (CLM) di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Motifnya diduga terkait pengambilalihan bisnis dan aset nikel.
“Soal-soal seperti ini memang sedang marak, pemain-pemainnya ya itu-itu saja,” jelas mantan wakil menteri hukum dan HAM era Presiden SBY itu, Sabtu (31/12).
Konflik di sektor pertambangan, menurut Denny tak hanya berpotensi mengeruk sumber daya alam secara ugal-ugalan berujung degradasi lingkungan hidup, namun juga masyarakat sekitar. Utamanya di daerah-daerah kaya mineral seperti Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
“Mereka biasa menggunakan oknum-oknum kepolisian sebagai beking,” jelas Denny.
Baca Juga: Sosok 'Haji' dalam Kisruh Nikel Luwu: Hanya Alat Oknum Jenderal?
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
Denny mendorong agar praktik-praktik pelibatan aparat kepolisian sebagai alat mengambil alih paksa bisnis pengelolaan sumber daya alam segera dihentikan. Ia pun kembali menagih komitmen presiden untuk berani memberantas mafia pertambangan.
“Hukum jangan dijadikan kepanjangantangan praktik mafia pertambangan, presiden harus bersikap jika benar ingin menjalankan amanat konstitusi Pasal 33 bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat,” jelas senior advokat Integrity Law itu.
Jika tidak, maka sudah barang tentu sumber daya alam hanya akan dikuasai oleh segelintir pengusaha, alih-alih oleh negara.
“Oknum-oknum pelaku mafia tambang ini memiliki kekuatan uang semestinya tidak diistimewakan, negara harus bersikap tegas untuk melindungi kepentingan publik,” jelasnya.
Dugaan adanya keterlibatan seorang pengusaha asal Kalimantan Selatan (Kalsel) sebelumnya mencuat dari laporan yang diterima Indonesia Police Watch (IPW).
"Dalam kasus hostile takeover saham tambang PT CLM, anak perusahaan PT Asia Pasific Mining Resources (PT APMR) diduga melibatkan seorang haji pengusaha tambang besar yang dekat kekuasaan," jelas Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso.
Keberpihakan Polri, menurut Sugeng, amat terlihat jelas dalam sengketa saham PT CLM. Aparat kepolisian begitu masif dikerahkan dalam proses pengambilalihan operasional perusahaan nikel itu, 5 November 2020 lalu.
Baca Juga: Ssstt.. Ada ‘Haji’ Kalsel Dalam Pusaran Sengketa Nikel Luwu
Saat itu pihak kepolisian terpantau menurunkan dua helikopter dan satu kapal pesiar serta kapal boat yang berisi anggota Brimob. Di darat, anggota Polri dari kesatuan Propam, Samapta serta serse yang dikawal direktur kriminal khusus Polda Sulsel dan kapolres Luwu Timur ikut dalam pengambilalihan perusahaan tersebut.
Sugeng kemudian mempertanyakan dari mana sumber biaya operasional kapal, hingga helikopter yang digunakan oleh para polisi tersebut.
"Sekali lagi, kami mendapat aduan masyarakat terkait dugaan penyalahgunaan kewenangan Polri secara sistematik dan terstruktur," jelas Sugeng.
Dalam pengambil-alihan PT CLM, Sugeng turut mengendus adanya dugaan kriminalisasi terhadap para pengurus lama di PT CLM. "Mereka dikriminalisasikan melalui berbagai laporan polisi," ujar Sugeng.
Berpotensi Jadi 'Alat'
Enam laporan polisi yang ditujukan kepada direksi, pemegang saham dan karyawan PT CLM lama. Sementara dua laporan polisi dari pihak PT CLM lama tidak diproses.
"Oleh sebab itu, sebaiknya semua kasus PT CLM ditarik ke Bareskrim Polri untuk ditangani secara imparsial, profesional dan berkeadilan," harap Sugeng.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
Berkelindan masifnya pelibatan polri dalam sengketa saham PT CLM, Berry Nahdian Furqon memandang semakin membuktikan keterlibatan oknum-oknum di sektor pertambangan bukan sekadar isapan jempol belaka.
"Sedangkan analisis saya, Haji I ini hanyalah alat para jenderal yang berbisnis," jelas mantan direktur eksekutif Walhi Nasional ini dihubungi terpisah, Kamis (29/12).
Berry pun mendorong pembenahan Polri oleh presiden segera dituntaskan. Menurutnya, posisi Polri saat ini sudah pada titik yang menguatirkan. Sebab, dikelilingi banyak kepentingan pribadi atau kelompok pengusaha.
"Maka tidak cukup hanya dengan Kompolnas, namun ini mesti ditangani langsung oleh Presiden dengan membentuk tim independen," jelas inisiator Jatam Kalsel ini.
"Ke depan sebaiknya Polri tidak langsung di bawah Presiden lagi, namun di bawah Mendagri, agar tidak menjadi lembaga yang superpower" pungkasnya.