bakabar.com, PALANGKA RAYA â Forum Pemuda Kalimantan Tengah (Forpeka) mengutuk aksi bejat oknum kepala desa (Kades) beserta dua perangkat desa di Kabupaten Katingan yang diduga tega mencabuli dan memerkosa remaja (17) hingga dikabarkan hamil 5 bulan.
“Kita dikejutkan dengan sebuah peristiwa pilu yang menghancurkan kemanusiaan. Perbuatan keji ini sungguh tidak bisa ditoleransi oleh nurani,” kata pendiri Forpeka Novia Adventy Juran, Kamis (9/7).
Forpeka, menyampaikan rasa prihatin dan mengutuk tindakan ini sebagai sebuah kejahatan terhadap kaum perempuan.
“Kami menyampaikan dukungan serta solidaritas kami terhadap korban dan kaum perempuan yang hari ini masih terbelenggu di dalam struktur masyarakat Indonesia yang sangat patriarki,” ujar aktivis perempuan ini.
Melihat realitas yang terjadi terhadap korban pemerkosaan oknum kades dan perangkat desa di Kabupaten Katingan, yang telah menghambat masa depan dan kemerdekaan korban yang masih dibawah umur dan masih duduk di bangku sekolah.
Untuk itu meminta pemerintah mencopot dengan tidak hormat oknum kades dan perangkat desa tersebut, kemudian pihak berwajib memberikan hukuman yang setimpal.
Tak hanya itu, hendaknya dalam proses peradilan harus ramah terhadap korban.
Sebab, dinilainya UU KUHAP masih berorientasi pada perlindungan tersangka dan terdakwa, belum beriorentasi pada perlindungan terhadap korban.
Selain itu ia juga meminta adanya pendampingan terhadap korban untuk menghilangkan trauma dan keputusasaan dalam menghadapi situasi yang sedang menimpa hidupnya. Pemerintah harus hadir menolong korban.
Peristiwa tersebut, ‘menampar’ wajah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang telah menggeser RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 ke 2021 mendatang.
Ia menilai, bahwa DPR RI tidak memahami kebutuhan rakyat dalam konteks perlindungan terhadap korban.
Padahal dalam data yang dikeluarkan oleh Komnas perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan dalam 12 tahun ini terus mengalami kenaikan signifikan. Apalagi di masa pandemi ini.
Oleh sebab itu, membuat RUU PKS semakin penting untuk segera diloloskan. Sebab, disusun demi memberikan perlindungan kepada para korban kekerasan seksual.
Karena dengan tidak adanya hukum, korban akan menuntut keadilan dengan cara apa?
“Sekali lagi ini adalah sebuah peringatan kepada DPR yang dengan seenaknya mengeluarkan keputusan yang tidak pro terhadap kepentingan perempuan korban kekerasan. Hari ini sebuah kejadian pilu telah memberi pelajaran konkret bagi DPR,”imbuhnya.
Kapolres Katingan AKBP Andri Siswan Ansyah saat menggelar konfrensi pers, Kamis (9/7) coba menjelaskan pengungkapan kasus pencabulan ini.
Ia membeberkan oknum Kepala Desa berinisial HNR (47) kemudian kedua perangkat desa lainnya NK (24) dan ALW (39).
Ketiganya melakukan persetubuhan dengan korban di tempat berbeda.
NK sebanyak 3 kali yaitu di bulan Juli 2019, kemudian bulan Januari 2020 dan Maret 2020.
Lalu, ALW 1 kali pada bulan Oktober 2019. Dan HNR 4 kali yaitu 2 kali di bulan April 2020 dan 2 kali bulan Mei 2020.
Kasus ini terbongkar ketika korban sudah hamil 5 bulan yang saat itu ditanyai orang tuanya.Siapa yang melakukan hal tersebut dan dijawab oleh korban adalah saudara NK atau yang merupakan mantan pacarnya.
"Kemudian, setelah di ketahui atas nama NK. Lucunya korban dan keluarganya mendatangi kepala desa untuk meminta pendapat terkait kejadian ini. saat itu Kepala desa menyarankan untuk dilakukan sidang adat," kata Kapolres dikutip dari beritasampit.co.id.
Mendengar saran tersebut, korban dan keluarganya kembali ke rumah dan ditanyai lagi oleh kaka dan orang tuanya.
Korban menyampaikan bahwa ada tiga pelaku yang sudah pernah menyetubuhi dan Salah satunya adalah kepala desa tersebut.
"Jadi beliau yang menyarankan untuk dilakukan sidang adat pada hari Senin 6 Juli 2020,” ujar Kapolres.
“Setelah itu korban melaporkan ke kepolisian, setelah mengetahui salah satu pelaku adalah aparat di pemerintah desa itu,” lanjutnya.
“Setiap melakukan aksinya terhadap korban, ketiga pelaku selalu melakukan ancaman terhadap korban agar tidak memberitahuan kejadian tersebut," beber Kapolres.
Akibat perbuatanya para tersangka dijerat Pasal 81 ayat (1) Undang - undang RI No 17 Tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Menjadi Undang-Undang.
Saat ini, para tersangka dan barang bukti diamankan di Mapolres Katingan untuk proses lebih lanjut.
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin