bakabar.com, JAKARTA - Ferdy Sambo blakblakan mengenai keterlibatan Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto dalam kasus tambang ilegal di Kalimantan Timur.
Sambo mengendus keterlibatan Agus sesuai laporan hasil penyelidikan yang ditekennya semasa menjabat kepala Divisi Propam Mabes Polri.
"Kan itu ada suratnya. Ya sudah, benar itu suratnya," ujar Ferdy Sambo dalam persidangan lanjutan kasus pembunuhan Brigadir Joshua di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa siang (22/11).
Baca Juga: Terseret Skandal Ismail Bolong, Eks Kapolda Kaltim Malah Promosi, Pengamat: Aneh
Surat laporan hasil penyelidikan (LHP) yang telah ditandatangi Ferdy Sambo itu sebelumnya tercantum dengan nomor R/1253/IV.WAS.2.4./2022/Divpropam, tertanggal 7 April 2022.
Meski demikian, Sambo enggan merinci secara gamblang tentang keterlibatan Komjen Agus dan beberapa nama perwira tinggi maupun menengah baik di Bareskrim Polri maupun Polda Kaltim. "Tanya ke yang berwenang, kan surat itu sudah ada," ungkapnya.
Sebelumnya, beredar surat laporan hasil penyelidikan (LHP) yang telah ditandatangani oleh Ferdy Sambo semasa menjabat sebagai Kadiv Propam Polri. LHP tersebut juga sempat dijadikan barang bukti untuk melaporkan Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto oleh Ketua Prodem, Iwan Sumule.
Baca Juga: KPK Respons Skandal Ismail Bolong, MAKI: Jangan Ada Cicak Vs Buaya Jilid Tiga
LHP tersebut berisi antara lain adanya setoran dari Ismail Bolong kepada Komjen Agus Andrianto di ruang kerja Kabareskrim Polri, dalam bentuk dolar Amerika sebanyak 3 kali, yaitu Oktober, November dan Desember 2021 senilai Rp2 miliar tiap bulannya.
'Uang koordinasi' tersebut diduga menjadi pelicin agar para petinggi Polri baik di tingkat tinggi hingga kepolisian sektor tutup mata atas aksi penambangan ilegal Ismail Bolong dkk.
Paradoks Polri
Kapolri Jenderal Listyo Sigit telah mengeluarkan perintah menangkap Ismail Bolong. Eks intel Polresta Samarinda itu diduga menyetor uang hasil tambang ilegal ke sejumlah petinggi Polri.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
Pegiat antikorupsi Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah memaknai diamnya petinggi Polri selama ini menyiratkan ada sesuatu yang hendak mereka sembunyikan.
"Publik menduga para petinggi sedang merencanakan skenario untuk melepaskan anggotanya dari jerat hukum. Ini tentu saja tidak selaras dengan pernyataan Kapolri untuk membenahi institusinya," ujar Castro, sapaan akrabnya dihubungi bakabar.com, Senin (21/11).
"Jadi seolah semacam lips service yang tidak sejalan dengan tindakannya. Janji Kapolri itu sebatas jargon kosong. Jadi tidak mengherankan jika tingkat kepercayaan publik terhadap institusi ini semakin merosot," ujarnya.
Di Kaltim, memang belum ada data spesifik soal data praktik tambang ilegal yang melibatkan anggota kepolisian dan TNI.
"Tapi gejalanya kan bisa ditangkap publik. Tambang ilegal yang kian marak dan cenderung didiamkan kepolisian mengindikasikan adanya main mata di antara pelaku dan aparat," ujar Pegiat Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman.
Pelaku kejahatan tambang ilegal, kata Castro, tak mungkin seberani itu andai tidak mendapatkan beking dari aparat di lapangan.
Ada satu kasus yang masuk pengadilan, tambang ilegal di Tanah Merah tepat di lokasi pemakaman Covid-19. Dalam fakta persidangan sempat menyebut salah satu anggota kepolisian.
"Tapi ini tidak pernah diusut dan dibiarkan menguap sampai sekarang. Terbaru, pengakuan Ismail Bolong itu," ujarnya.
Fenomena Ismail Bolong begitu mengherankan Castro. Terlebih, tempus delicti atau waktu kejadiannya tidak terlampau lama.
"Bahkan laporan pemeriksaan Propam tadi itu 'kan tertanggal 7 April 2022. Kenapa didiamkan dan seolah hanya selesai diinternal kepolisian?" ujarnya.
"Ini kan berarti kepolisian sendiri sedang mengendapkan kejahatan. Kacau! Coba bayangkan paradoksnya, aparat penegak hukum menyembunyikan kejahatan," jelasnya.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto melihat percuma jika penyelidikan kepolisian hanya berhenti di Ismail Bolong saja. Kendati begitu, Bambang mafhum melihat respons telat Kapolri untuk menangkap Ismail Bolong.
"Bisa dimaklumi karena ada presidensi G-20. Hanya saja, tanpa ada langkah2 konkrit dan tegas, sekadar menangkap Ismail Bolong yang hanya operator lapangan sulit untuk percaya bahwa Kapolri konsisten untuk bersih-bersih internalnya. Apalagi menyangkut beberapa nama perwira tingginya," jelasnya dihubungi terpisah.
Yang menarik dicermati, menurut Bambang mengapa baru sekarang surat rekomendasi kepala Divisi Propam Mabes Polri tertanggal 7 April 2022 malah membebaskan Ismail Bolong dan semua nama polisi yang disebut-sebut dalam penyelidikan Biro Paminal.
"Artinya, video Ismail Bolong dan terbukanya surat Kadivpropam 7 April 2022 itu adalah pukulan telak pada praktik-praktik korupsi, kolusi di internal kepolisian," nilainya.
Bambang melihat keluarnya perintah Kapolri Jenderal Sigit mengisyaratkan kebenaran adanya aliran uang dari Ismail Bolong ke para perwira tinggi hingga menengah Polri.
Berkaca dari penyelidikan Divisi Propam Mabes Polri, Tim Paminal menemukan adanya dugaan keterlibatan mantan Kapolda Kaltim Irjen Hery Rudolf Nahak.
Mengutip isi laporan Divpropam, sejak Juli 2020 para pengusaha atau penambang ilegal batu bara di Kaltim diduga memberikan 'uang koordinasi' secara satu pintu melalui direktur reserse kriminal khusus atas petunjuk Hery Rudolf.
Oleh lulusan terbaik Akpol 90 itu, uang diduga dibagikan lagi kepada pejabat utama Polda Kaltim dan Polres yang wilayah hukumnya terdapat penambangan ilegal.
"Bahkan pencopotan Kapolda Kaltim Irjen Hery Rudolf Nahak pada Desember 2021 juga bukan merupakan sanksi tapi mutasi biasa dan bisa dipersepsikan sebagai promosi karena mendapat jabatan sebagai Kasespim [kepala sekolah staf dan pimpinan]," jelasnya.
Sebelumnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit memerintahkan anak buahnya menangkap Ismail Bolong. Instruksi tersebut keluar setelah Sigit kembali ke Jakarta usai fokus mengamankan Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Bali. Ismail diketahui sudah berhenti menjadi polisi sejak Juli 2022. Pangkat terakhirnya ajun inspektur satu.
"Supaya tidak jadi polemik," ujar Sigit mengutip laporan Tempo, Minggu (20/11).