News

Fenomena PPPK di Kotim, Baru Terima SK Nangis-nangis Minta Pindah

Baru terima SK, PPPK sudah minta pindah, tidak hanya mencederai sumpah jabatan, tapi juga mencerminkan lemahnya mental sebagian abdi negara. 

Featured-Image
Penyerahan SK CPNS dan PPPK di balai latihan BKPSDM Kotim, belum lama ini. Foto: Net.

bakabar.com, SAMPIT - Fenomena memprihatinkan mewarnai dunia birokrasi di Kotawaringin Timur (Kotim), Kalteng. Sejumlah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang baru saja menerima SK pengangkatan, justru datang menghadap Wakil Bupati, Irawati sambil menangis meminta pindah penempatan.

Bagi Irawati, sikap tersebut tidak hanya mencederai sumpah jabatan, tapi juga mencerminkan lemahnya mental sebagian abdi negara. 

“Ada yang datang ke ruangan saya dengan keluarga, serombongan, menangis-nangis pakai alasan anak sakit. Padahal kontrak sudah jelas, penempatan mereka juga hasil pilihan sendiri saat seleksi. Jadi kenapa baru sekarang menolak?” tegasnya, Selasa (30/9/2025).

Ia menegaskan, birokrasi tidak bisa dijalankan dengan drama dan alasan pribadi. PPPK yang sudah menandatangani kontrak harus siap ditempatkan di mana saja sesuai kebutuhan daerah. 

“Ini bukan drama. Kalau tidak siap, seharusnya dari awal tidak memilih formasi tersebut. Jangan sudah terima SK, baru minta pindah,” sindirnya.

Lebih jauh, Irawati mengingatkan bahwa kontrak PPPK berlaku sekian tahun dan akan dievaluasi. Permintaan pindah yang tidak berdasar bisa menjadi catatan buruk yang memengaruhi kelanjutan kontrak. 

“Kalau kinerja tidak baik atau tidak menunjukkan loyalitas, jangan salahkan kalau kontrak tidak diperpanjang,” tegasnya.

Pernyataan keras Wabup ini sekaligus menjadi alarm bagi mentalitas ASN dan PPPK di Kotim. Abdi negara, kata dia, tidak boleh bekerja setengah hati atau sekadar mencari zona nyaman. 

“Kita adalah pelayan masyarakat. Dimanapun ditempatkan, jalankan dengan tulus dan anggap sebagai ibadah,” pesannya.

Fenomena nangis-nangis minta pindah ini menjadi sorotan tajam karena dianggap mengulang pola lama birokrasi yang penuh lobi, titipan, hingga mencari cara menghindari tanggung jawab. Irawati menegaskan, praktik semacam itu tidak boleh lagi terjadi.

“Tidak ada bahasa titipan, tidak ada lobi. Kontrak sudah ditandatangani berarti bersedia ditempatkan di situ. Itu harga mati,” pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner