Nasional

Empat Penerima Gelar Pahlawan Nasional, Satu Asal Kaltim, Datu Kelampayan Ditarget Tahun Depan

apahabar.com, BANJARMASIN – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan kepada empat putra terbaik tanah air bergelar Pahlawan…

Featured-Image
Presiden Jokowi saat menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada momen Hari Pahlawan Nasional 10 November 2021, kemarin. Foto-Antara setkab

bakabar.com, BANJARMASIN – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan kepada empat putra terbaik tanah air bergelar Pahlawan Nasional 2021, Rabu (10/11) kemarin.

Dari empat penerima gelar Pahlawan Nasional 2021 itu, salah satunya dari Kalimantan Timur (Kaltim), yakni Sultan Aji Muhammad Idris.

Sementara itu, tiga lainnya masing-masing Usmar Ismail dari DKI Jakarta, Raden Aria Wangsakara asal Banten, dan Tombolotutu dari Sulawesi Tengah.

Ada pun Sultan Aji Muhammad Idris, dikutip bakabar.com dari laman resmi Sekretariat Kabinet, lahir di Jembayan, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 1667 dikenal sebagai tokoh pemersatu yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia.

Melalui perubahan sistem pemerintahan menjadi kesultanan, Sultan Aji berusaha menjalin hubungan dan menyatukan kekuatan dengan berbagai kesultanan dalam menentang kolonialisme.

Ketika VOC mulai menguasai kerajaan Kutai Kartanegara dan Kerajaan Pasir, Sultan Aji Muhammad Idris sebagai pangeran Kutai terus melakukan perlawanan.

Sultan Aji Muhammad Idris konsisten mewujudkan visi mengusir kekuatan VOC dari Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Indonesia secara keseluruhan.

Sultan Aji berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan di wilayah Sulawesi Selatan terutama kerajaan-kerajaan Bugis seperti Wajo, Bone, dan Soppeng.

Sultan Aji wafat pada tahun 1739 dan dimakamkan di pemakaman keluarga Raja Wajo, Sulawesi Selatan.

Sementara itu penerima gelar Pahlawan Nasional lainnya Usmar Ismail, dari DKI Jakarta lahir di Bukittinggi 20 Maret 1921.

Usmar merupakan salah satu pelopor di kancah perfilman nasional dan internasional.

Pada tahun 1944, Usmar mendirikan kelompok sandiwara Maya yang juga turut menyebarluaskan berita proklamasi di masa kemerdekaan.

Kemudian di tahun 1950, mendirikan perusahaan film pribumi bernama N.V. Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang kemudian membuat film Darah dan Doa (the long march of Siliwangi).

Film ini dianggap sebagai film Indonesia pertama dan kemudian hari pertama pengambilan gambarnya ditetapkan sebagai Hari Film Indonesia.

Tahun 1962, Usmar Ismail aktif mendirikan organisasi Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) di bawah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai wadah kegiatan kebudayaan, pendidikan, dan penanaman nilai-nilai nasionalisme kepada masyarakat.

Film-film buatan Umar Ismail mengajak dan menawarkan nilai-nilai nasionalisme seperti Darah dan Doa (1950), Enam Jam di Jogja (1961), Kafedo (1953), Lewat Djam Malam (1954), Pedjuang (1960), dan masih banyak lainnya.

Selain itu film Tamu Agung (1956) mendapatkan penghargaan film komedi terbaik di Festival Film Asia Pasifik di Hongkong tahun 1956.

Usmar wafat pada tanggal 2 Januari 1971 dan dimakamkan di Pekuburan Karet, Jakarta.

Berikutnya penerima gelar Pahlawan Nasional 2021, yakni Raden Aria Wangsakara, dari Banten.

Lahir di Sumedang tahun 1615, Wangsakara bukan hanya tokoh keagamaan dalam Kesultanan Banten pada masanya.

Tetapi juga tokoh politik dan pemimpin militer yang terus berjuang dalam semangat untuk mengusir penjajah.

Melalui latar belakang perjuangannya semasa Kesultanan Banten semasa Sultan Abul Mufakhir dan Sultan Ageng Tirtayasa, Wangsakara menegaskan perannya sebagai sosok yang turut memainkan peranan penting dalam melawan penjajah (VOC).

Pada 1636, Wangsakara diutus Sultan naik haji. Di Mekah, Wangsakara berhasil memperoleh surat pengakuan Banten oleh Syarif Mekah sebagai kepanjangan tangan dari otoritas politik Turki Utsmani (Ottoman).

Sekembalinya ke Banten, Wangsakara dia diberi gelar Kiai Mas Haji Wasangraja. Tahun 1654 ketika terjadi peperangan di Batavia antara Kesultanan Banten dengan VOC, Raden Aria Wangsakara mewakili Kesultanan Banten sebagai juru runding yang membuahkan kesepakatan penghentian perang. Daerah yang dikuasai masing-masing tetap dipertahankan.

Tahun 1658-1659 ketika terjadi peperangan, Raden Aria Wangsakara mendapat mandat dari Sultan Ageng Tirtayasa untuk memimpin perang melawan VOC yang berujung pada perjanjian damai pada tanggal 5 Juli 1659.

Pascaperang, Wangsakara mengubah strategi pertahanan dengan membuat permukiman dan kanal sehingga menjangkau daerah Tangerang pedalaman.

Wangsakara wafat pada tanggal 15 Agustus 1681 dan dimakamkan di Lengkong, Pagedangan, Tangerang atau Taman Makam Pahlawan Kabupaten Tangerang.

Terakhir penerima gelar Pahlawan Nasional 2021 yakni Tombolotutu, dari Sulawesi Tengah.

Lahir di Moutong, Sulawesi Tengah, pada tahun 1857, Tombolotutu adalah tokoh yang sedari awal menentang penindasan Belanda di Moutong.

Tombolotutu memimpin dan memperjuangkan hak-hak rakyat Moutong yang dirampas sehingga terjadi pertempuran yang tidak hanya banyak memakan korban namun juga kerugian materiil.

Tombolotutu konsisten menentang penjajahan Belanda. la menolak menandatangani "Lang Contract" sebuah perjanjian yang diajukan Belanda karena dinilai merugikan masyarakat.

Tombolotutu wafat pada 17 Februari 1901 dan dimakamkan di Desa Padang Kecamatan Toribulu, Moutong. Sulawesi Tengah

Usul Datu Kelampayan Pahlawan Nasional

Sementara itu, Pemprov Kalsel sendiri sejatinya sempat mengusulkan agar Pangeran Hidayatullah, sultan di era kerajaan Banjar. Namun sayang, pengusulan itu terganjal dari syarat yang kurang lengkap.

Sembari melengkapi itu, rupanya Kalsel juga menyiapkan ulama Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau Datu Kelampayan bergelar pahlawan nasional tahun depan.

Pengusulan Datu Kelampayan bergelar Pahlawan Nasional rencananya didahulukan. Ditarget pada peringatan Hari Pahlawan Nasional 10 November 2022, Datu Kelampayan mendapatkan gelar pahlawan.

Saat ini persiapan pengusulan itu telah dilakukan. Rencananya, Sabtu (13/11) mendatang kembali digelar rapat persiapan di Banjarmasin.

Rapat yang digelar oleh Dewan Harian Daerah (DHD) 45 dan Tim Peniliti Pengkaji Gelar Daerah (TP2D). Rapat digelar sebagai lanjutan dari penyusunan bukti berupa rekam jejak perjuangan Datu Kelampayan.

Baik perjuangan dalam memajukan bidang pendidikan (pengembangan Islam) di tanah air, maupun perlawanan terhadap penjajah.

Syarat Calon Pahlawan Nasional

Mengacu pada Pasal 25 UU Nomor 20 Tahun 2009 terdapat sejumlah persayaratn umum calon Pahlawan Nasional.

Selain sebagai warga negara Indonesia, juga memiliki integritas moral dan keteledanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, setia dan tidak mengkhianati bangsa negara, dan tidak pernah dipidani penjara.

Selanjutnya mengenai persyaratan khusus calon Pahlawan Nasional yakni mengacu pada Pasal 26 UU Nomor 20 Tahun 2009.

Yakni, pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidan lain untuk mencapat, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekan serta mewujudkna persatuan dan kesatuan bangsa.

Selain itu tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan. Melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya.

Pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negar.

Menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Memiliki konsisten hiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi dan atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkau luas dan berdampak nasional.

Riwayat Singkat Datu Kelampayan

Syekh Muhammad Arsyad merupakan putra Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari. Ia lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Datu Kelampayan.

Lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710, meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 dalam usia 102 tahun. Makamnya berada di Kelampayan.

Datu Kelampayan merupakan ulama fiqih mazhab Syafi’i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan.

Datu Kelampayan hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah dan mendapat julukan anumerta Datu Kelampayan. Ia pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang menjadi rujukan bagi jumlah pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.

Komentar
Banner
Banner