bakabar.com,TANJUNG - Seusai ditetapkan sebagai tersangka Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), RM melalui kuasa hukum mempertanyakan kejelian penyidikan yang dilakukan Polres Tabalong.
Warga Desa Mahe Pasar di Kecamatan Haruai tersebut disangkakan Pasal 10 jo Pasal 2 ayat (1) UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO, atau Pasal 83 jo Pasal 68 UU RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Penangkapan dan penetapan tersangka terhadap RM didasari dugaan membantu atau percobaan melakukan TPPO berupa pengiriman tenaga pekerja migran yang tak sesuai persyaratan. Perbuatan ini merugikan 5 korban yang semuanya laki-laki.
Namun belakangan keluarga dan tersangka keberatan dengan proses penyidikan yang dilakukan Polres Tabalong. Hal ini disampaikan kuasa hukum RM, Muhammad Yusuf Nasution, Rabu (21/6).
"Kami selaku kuasa hukum tersangka, sangat keberatan dengan pasal yang dituduhkan. Penyebabnya unsur-unsur dalam pasal tersebut tidak terpenuhi," jelasnya.
"Penetapan tersangka juga terlalu dini, karena masih terdapat beberapa hal atau bukti yang harus diajukan kepolisian. Namun dalam waktu singkat, Polres Tabalong telah menetapkan klien saya sebagai tersangka," imbuhnya.
Yusuf juga menjelaskan bahwa TPPO yang disangkakan belum terjadi, sehingga tidak ditemukan unsur pidana. Pun sejumlah orang yang disebut polisi sebagai korban, justru tidak merasa dikorbankan.
"Kami juga menyesalkan sejumlah keterangan yang disampaikan dalam konferensi pers, Selasa (20/6) kemarin," tegas Yusuf.
"Terdapat hal yang tidak sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Terkait persoalan ini, saya sudah mengkonfrontir keterangan-keterangan saksi (korban) dan RM," sambungnya.
Baca Juga: Pelaku TPPO di Tabalong Ditangkap, Diduga Bantu Kirim Tenaga Kerja Ilegal
Baca Juga: Setelah Tetapkan 1 Tersangka Kasus Perdagangan Orang, Polres Tabalong Bidik Pelaku Lain
Di antara keterangan yang dinilai tidak benar adalah bahwa hidup korban terkatung-katung selama kurang lebih 2 bulan di Jakarta. Kemudian untuk biaya hidup, mereka meminta kiriman dari orang tua di Tabalong.
"Faktanya mereka hidup nyaman dan mendapatkan biaya untuk makan selama tinggal di Jakarta," beber Yusuf.
"Kemudian penjelasan tentang perjanjian pemotongan gaji sebesar Rp3 juta selama tujuh bulan untuk klien kami, juga tidak benar. Bahkan korban mengakui tidak mengetahui soal perjanjian ini," imbuhnya.
Yusuf juga membantah bahwa RM yang mengantar korban membuat paspor ke Kantor Imigrasi Kelas I Banjarmasin. Sesuai keterangan saksi, mereka diantar oleh seseorang berinisial UD.
"Klien saya hanya berperan sebagai jasa pengurusan paspor, tanpa harus mengetahui tujuan maupun keperluan si pembuat paspor. Dalam hal ini, klien saya juga tidak memperoleh keuntungan," jelas Yusuf.
"Kemudian paspor tersebut masih kosong. Ini membuktikan mereka belum melakukan perjalanan ke luar negeri," pungkasnya.