bakabar.com, JAKARTA -- Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) melaporkan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari ini, Selasa (19/3/2024).
Laporan tersebut berkaitan dengan keputusan pencabutan izin tambang oleh Bahlil yang diduga penuh dengan praktik korupsi, yaitu menguntungkan diri, kelompok, dan orang lain serta diduga merugikan perekonomian negara.
"Laporan ini menjadi penting untuk membuka pola-pola apa saja yang digunakan oleh para pejabat negara, terutama Menteri Bahlil, dalam kaitannya dengan proses pencabutan izin yang menuai polemik," ujar Koordinator Jatam Melky Nahar kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (19/3/2024).
Bahlil dilaporkan atas dugaan penerimaan gratifikasi, suap, dan pemerasan. Pelaporan ini berkaitan dengan keputusan Bahlil mencabut dan memulihkan izin tambang di Indonesia. Hal itu dilakukan setelah Bahlil mendapat kuasa dan mandat dari Presiden Joko Widodo sejak tahun 2021 lalu.
Dituturkan, Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi di mana Bahlil ditunjuk sebagai Ketua Satgas untuk memastikan realisasi investasi dan menyelesaikan masalah perizinan serta menelusuri izin pertambangan dan perkebunan yang tak produktif.
Pada tahun 2022, Presiden Jokowi kembali meneken Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satgas Penataan Lahan dan Penataan Investasi.
Melalui Keppres ini, Bahlil diberi kuasa untuk mencabut izin tambang, hak guna usaha, dan konsesi kawasan hutan, serta dimungkinkan untuk memberikan kemudahan kepada organisasi kemasyarakatan, koperasi, dan lain-lain untuk mendapatkan lahan/konsesi.
Puncaknya, kata Melky, pada Oktober 2023 lalu Presiden Jokowi kembali mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.
Melalui regulasi ini, Bahlil diberi wewenang untuk mencabut izin tambang, perkebunan, dan konsesi kawasan hutan, serta bisa memberikan izin pemanfaatan lahan untuk ormas, koperasi, dan lain-lain.
"Jatam menduga langkah Presiden Jokowi yang memberikan wewenang besar hingga kemudian Bahlil mempunyai kuasa untuk mencabut ribuan izin tambang itu sesungguhnya penuh dengan koruptif. Indikasi korupsi itu diperkuat dengan dugaan Menteri Bahlil yang mematok tarif atau fee kepada sejumlah perusahaan yang ingin izinnya dipulihkan," beber Melky, yang dikutip dari cnnindonesia.com.
Jatam meminta KPK menindaklanjuti laporan mengenai dugaan korupsi yang melibatkan Bahlil itu.
"Jatam berharap dan mendesak KPK agar bekerja dengan cepat pascapelaporan ini dilakukan guna menyambungkan fakta-fakta yang sudah terungkap ke publik sehingga kita dapat melihat gambar utuh dari puzzle-puzzle tersebut agar kita bisa melihat sebejat apa dugaan korupsi yang terjadi, berikut siapa saja pihak yang memperoleh keuntungan," ujarnya.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata memerintahkan Tim Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK untuk menindaklanjuti laporan tersebut.
"Pimpinan sudah minta Dumas untuk melakukan telaahan atas informasi yang disampaikan masyarakat," kata Alex saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis.
Sementara itu, Bahlil Lahadalia enggan merespons laporan yang dilayangkan Jatam tersebut.
"Saya enggak tahu, saya belum tahu ya," ucap Bahlil kepada wartawan setelah membuat pengaduan di Bareskrim Polri, Selasa (19/3/2024)
Bahlil melaporkan pencatutan nama dirinya terkait pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) ke Bareskrim Polri.
Bahlil mengakui, pelaporan diajukannya untuk menindaklanjuti laporan Majalah Tempo tentang adanya permintaan dengan mencatut namanya sebesar Rp5-25 miliar guna pemulihan IUP.
"Saya mengadukan orang-orang yang mencatut nama baik saya untuk meminta sesuatu. Jadi, biar tidak ada informasi simpang siur. Harus kita luruskan informasi ini," ujarnya kepada wartawan di Gedung Bareskrim Polri.
Bahlil memastikan laporan tersebut tidak ditujukan kepada Majalah Tempo, melainkan kepada mereka yang mengaku sebagai orang dekatnya dan meminta upeti kepada perusahaan-perusahaan tambang.
Ia bahkan meminta Bareskrim tidak segan menindak pegawai Kementerian Investasi/BKPM apabila terbukti mencatut namanya untuk kepentingan pribadi.
"Semuanya, baik dari internal kementerian saya. Karena dari informasi Tempo ada orang dalam, orang dekat, itu saya minta untuk dimintai keterangan. Sekalipun enggak jelas juga kriteria orang dalam dan orang dekat itu," ujarnya.
Sebelumnya Majalah Tempo menyebut Bahlil diduga melakukan politisasi izin IUP dan HGU. Bahlil disebut menyalahgunakan wewenang untuk menghidupkan kembali izin usaha yang dicabut dengan meminta upeti kepada pengusaha.
Tempo menyebut, Bahlil melalui orang-orangnya diduga meminta uang dengan besaran Rp5-25 miliar untuk mengaktifkan kembali izin yang dicabut. Besaran uang tergantung kondisi perusahaan, luas lahan dan banyaknya bahan penambangan.cnn