Hot Borneo

Debit Air Masih Tinggi, Petani di Jejangkit Batola Terancam Gagal Tanam Lagi

Seandainya cuaca kembali tidak bersahabat, petani di Kecamatan Jejangkit, Barito Kuala (Batola), berpotensi melewatkan 2023 dengan kegagalan tanam padi.

Featured-Image
Lahan pertanian di Desa Jejangkit Muara yang masih digenangi air cukup tinggi. Foto: Dokumen

bakabar.com, MARABAHAN - Seandainya cuaca kembali tidak bersahabat dan irigasi tak dibenahi, petani di Kecamatan Jejangkit, Barito Kuala (Batola), berpotensi melewatkan 2023 dengan kegagalan tanam padi.

Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, sebagian besar petani di Jejangkit sudah mengalami gagal tanam akibat banjir yang menggenangi persawahan. Situasi ini diperparah dengan sistem irigasi yang buruk.

Situasi tersebut tak urung membuat luasan tanam padi terus tergerus sejak 2020. Demikian pula dengan produktivitas padi.

"Terhitung mulai 2020, rata-rata luasan tanam di Jejangkit menurun," papar Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Jejangkit, Kusairi, kepada bakabar.com.

Baca Juga: Tagih Komitmen PT Palmina, Warga Jejangkit Batola Mengadu ke DPRD Kalsel

"Dalam rentang 2018 hingga 2019, luasan tanam di Jejangkit sekitar 3.100 hektar. Namun memasuki 2022, luasan tanam hanya sekitar 1.114 hektar," imbuhnya.

Adapun produktivitas sebelum 2020, petani di Jejangkit bisa menghasilkan gabah sebanyak 3 sampai 5 ton per hektar

"Namun setelah memasuki 2022, produktivitas tidak lebih dari 2,1 ton per hektar. Ini pun hanya berlaku untuk varietas unggul," beber Kusairi.

"Kami sudah berusaha meningkatkan produktivitas dengan memanfaatkan bantuan berupa pupuk, benih dan obat-obatan. Namun tetap tak maksimal dimanfaatkan, karena lahan tak mendukung," sambungnya.

Berkah Cuaca Ekstrem

Jejangkit sendiri kembali dilanda banjir yang berlangsung sejak awal 2023. Kegagalan tanam pun kembali membayangi petani.

Untungnya memasuki awal Mei 2023, debit air mulai jauh berkurang, seiring penurunan intensitas hujan dan perubahan cuaca yang kian panas.

Kawasan perumahan pun tidak lagi tergenang. Namun demikian, kedalaman air di lahan pertanian masih tidak mungkin melakukan penanaman.

"Kalau sekarang tidak mungkin menanam, karena kedalaman air di lahan masih sepaha orang dewasa," papar salah seorang petani di Desa Jejangkit Pasar, Ardiansyah, Sabtu (6/5).

Baca Juga: Andil Pengaruhi Inflasi, Batola Fokus Penanggulangan Banjir di Jejangkit

"Namun kalau cuaca panas terus, mungkin dalam beberapa pekan lagi kami sudah bisa tanam kembali," sambungnya.

Keyakinan Ardiansyah juga diamini Kusairi, tetapi dengan catatan tidak terjadi perubahan cuaca yang membuat intensitas hujan kembali meningkat.

"Seandainya cuaca terus membaik, diperkirakan bisa tanam mulai Juni 2023. Namun tidak mungkin lagi menanam varietas lokal," tukas Kusairi.

"Pilihan paling memungkinkan adalah menanam varietas unggul seperti siam madu yang berumur 4 bulan," tambahnya.

Padi Apung

Oleh karena terbilang sedikit terlambat, hampir dipastikan luasan tanam di Jejangkit tidak mungkin mencapai target.

"Faktor penyebabnya adalah kedalaman air di lahan yang masih sekitar 70 sentimeter. Kalau menunggu proses alami, butuh beberapa pekan untuk surut. Kalau pun dibuang, tak tersedia tempat pembuangan," urai Kusairi.

"Faktor berikutnya soal ekonomi. Setelah gagal tanam selama lebih dari dua tahun, modal petani untuk membeli bibit, pupuk dan obat-obatan semakin menipis hingga bahkan habis," sambungnya.

Adapun penanaman padi apung diyakini akan menjadi proyek jangka panjang, belum sebagai solusi yang dapat menghindarkan mayoritas petani Jejangkit dari kegagalan tanam di musim 2023.

Baca Juga: Dituntut Warga Jejangkit Batola, PT Palmina Buka Suara

"Setelah mendapatkan bantuan 400 styrofoam, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Jejangkit sudah mencoba menanam padi apung di Desa Sampurna," beber Kusairi.

"Kami mencoba 100 styrofoam, sedangkan sisanya dibagikan kepada masyarakat. Sampai sekarang berkembang cukup baik dan diperkirakan setengah bulan lagi panen," imbuhnya.

Menanam varietas siam madu, diperkirakan hasil panen padi apung mencapai 5 sampai 6 ton per hektar.

"Namun untuk dikembangkan secara luas, perlu perhitungan matang. Faktanya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk membeli styrofoam dan pot," pungkas Kusairi.

Editor


Komentar
Banner
Banner