Hot Borneo

Meski Diserang Tungro, Produksi Beras Kalsel Masih Surplus Versi BPS

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras Kalimantan Selatan (Kalsel) masih surplus meskipun diterjang hama tungro. 

Featured-Image
Data BPS Kalsel menyebut produksi beras di Banua surplus. Foto-apahabar.com/Hasan

bakabar.com, BANJARBARU - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras Kalimantan Selatan (Kalsel) masih surplus meskipun diterjang hama tungro. 

"Potensi produksi beras tahun ini diperkirakan mencapai 516,61 ribu ton, sedangkan jumlah konsumsi hanya 474,35 ribu ton. Sehingga surplus sekitar 42,26 ribu ton," ucap Kepala BPS Kalsel, Yos Rusdiansyah kepada awak media, Selasa (15/11).

Yos mengatakan, potensi produksi didapat melalui metode yang mengintegrasikan dua sistem pengumpulan data.

Yakni metode kerangka sampel area (KSA) untuk menghitung luas panen dan metode ubinan untuk mengetahui produktivitas.

"Luas panen dikali dengan produktivitas, maka didapat jumlah produksinya," katanya.

Dengan perhitungan itu, Yos menuturkan, produksi beras Kalsel pada Januari sampai September sekitar 366,35 ribu ton.

"Sementara Oktober-Desember diperkirakan 150,26 ribu ton," jelasnya.

Untuk Oktober-Desember, sambung Yos, masih angka sementara dengan menggunakan rata-rata produktivitas SR III (September-Desember) tahun 2018 sampai 2021.

Ia menyebut, ada tiga kabupaten/kota dengan total produksi tertinggi. Di antaranya Barito Kuala (182.841 ton), Banjar (141.592 ton) dan Hulu Sungai Tengah (110.297 ton).

Adapun tiga kabupaten/kota dengan produksi terendah yakni Balangan (15.618 ton), Banjarmasin (8.217 ton) dan Banjarbaru (3.316 ton).

Jika dibandingkan data Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Kalsel, maka tak jauh beda.

"Jadi memang surplus, tidak defisit," terang Kepala Dinas TPH Kalsel, Syamsir Rahman.

Meski begitu, ia menyampaikan, ada sejumlah kendala yang dihadapi untuk meningkatkan produksi padi.

Pertama, adanya kenaikan BBM yang berimbas pada kenaikan semua sarana produksi.

Kemudian, banjir yang terjadi dua tahun terakhir karena menyebabkan jaringan irigasi dan tata kelola air rusak.

Terakhir, iklim dan cuaca yang tidak menentu sehingga menyebabkan munculnya hama dan penyakit tanaman.

"Ini menjadi indikator penurunan produksi pertanian," tutupnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner