bakabar.com, PONTIANAK - Suku Dayak mendapat apresiasi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas dukungannya terhadap pembagunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Hal itu disampaikan ketika menghadiri Pembukaan Bahaupm Bide Bahana Tariu Borneo Bangkule Rajaking (TBBR) di Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (29/11).
“Izinkan saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas dukungan yang diberikan masyarakat Kalimantan. Utamanya dari Suku Dayak terhadap pembangunan IKN,” papar Presiden dalam siaran YouTube Sekretariat Presiden.
"Kemudian atas permintaan masyarakat, akan dibangun Dayak Center di IKN di lokasi yang segera ditentukan kemudian," imbuhnya.
Selain suportif terhadap proyek IKN, Suku Dayak juga terkenal sebagai salah satu suku yang kental dengan tradisi turun-temurun. Mereka masih memegang teguh adat istiadat, baik dari aspek pakaian adat, rumah tradisional, ataupun budaya.
Berbicara tentang tradisi, penduduk asli di Pulau Kalimantan itu pun memiliki sederet kebiasaan unik yang menjadi ciri khasnya tersendiri. Merangkum berbagai sumber, berikut ulasannya:
Kuping Panjang
Suku Dayak di Kalimantan Timur memiliki tradisi unik berupa memanjangkan daun telinga. Tradisi demikian dimaknai sebagai simbol kecantikan, sekaligus untuk menunjukkan status kebangsawanan.
Tradisi kuping panjang sejatinya juga mengajarkan masyarakat Dayak untuk melatih kesabaran. Pasalnya, cara memanjangkan daun telinga itu sendiri tidak mudah, bahkan memerlukan waktu lama.
Adapun cara memanjangkan telinga adalah dengan menggunakan logam atau pemberat yang dipakai bak anting. Perempuan dapat memanjangkan daun telinga hingga dada, sedangkan laki-laki bisa memanjangkan telinga hingga bawah dagu.
Tato Tradisional
Suku Dayak Iban di Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, juga mempunyai seni merajah tubuh. Tato tradisional ini diperkirakan sudah eksis sejak tahun 1500 SM sampai 500 SM.
Bukan sembarang merajah tubuh, tradisi tato Suku Dayak Iban ini mulanya ditujukan untuk mengenali mana kawan dan lawan ketika berperang.
Tiwah
Tiwah merupakan tradisi pemakaman berupa membakar tulang belulang dari kerabat yang telah meninggal dunia. Tradisi ini dilakukan sesuai kepercayaan Kaharingan oleh Suku Dayak Ngaju.
Ketika melaksanakan tradisi Tiwah, keluarga yang berduka akan menari dan bernyanyi sembari mengelilingi jenazah. Masyarakat setempat percaya bahwa Tiwah bakal mengantarkan arwah sang mendiang agar mudah menuju akhirat.
Ngayau
Berbeda dengan tradisi-tradisi lain yang masih dilestarikan hingga kini, Ngayau sudah tak lagi dilakukan. Penghentian tradisi itu dikarenakan terlalu ‘mengerikan’ dan ‘penuh dendam.’
Ngayau merupakan kegiatan berburu kepala musuh yang dilakukan beberapa rumpun Dayak, antara lain Ngaju, Iban dan Kenyah. Secara turun temurun, para pemuda Dayak harus melakukan pembuktian dengan memburu kepala musuh.
Tradisi itu terus berlanjut, mengingat setiap keturunan bakal membalas dendam dengan memburu keluarga dari pembunuh leluhur mereka. Lantas sejak 1874, kebiasaan ini mulai berubah.
Awalnya Kepala Suku Dayak Kayan mengumpulkan kepala suku dari rumpun lain. Mereka menyepakati hasil musyawarah Tumbang Anoi yang berisi larangan pelaksanaan tradisi Ngayau karena dapat menyebabkan perselisihan di antara rumpun suku.