bakabar.com, JAKARTA - Kabar tak mengenakkan tengah menerpa biduk rumah tangga Venna Melinda. Ibunda Verrell Bramasta itu mengaku suaminya, Ferry Irawan, melakukan tindak kekerasan (KDRT) selama tiga bulan terakhir.
“Terakhir dibekap, tangan ditindih, dan dahi (Ferry) ditekan ke hidung sampai patah karena terlalu keras,” ujar Venna membeberkan perlakuan sang suami, sebagaimana dikutip dari DetikJatim, Senin (16/1).
Kuasa hukum Venna, Hotman Paris, turut menambahkan bahwa kejadian KDRT ini berlangsung selama tiga bulan belakangan. Ferry tidak hanya kekerasan fisik, melainkan juga melukai psikis kliennya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, sambung Hotman, tulang rusuk Venna sampai retak. “Sudah tiga bulan terakhir dengan cara dibekap, dipiting, sampai kata dokter rusuknya retak,” kata dia.
Ironi KDRT yang Tak Kunjung Surut
Persoalan yang menimpa Venna ini hanyalah satu contoh dari ribuan kasus KDRT yang terjadi di Indonesia. Menurut data KemenPPPA, setidaknya ada 18.261 kasus KDRT sampai Oktober 2022 lalu, dengan 79,5 persen korbannya adalah perempuan.
Sebagaimana dilansir dari kekerasan.kemenpppa.go.id, bentuk kekerasan yang paling banyak dialami korban berupa kejahatan seksual. Kemudian, diikuti dengan kekerasan psikis dan fisik.
Ironisnya, kekerasan yang demikian utamanya dialami kelompok usia remaja dengan rentang umur 13 hingga 17 tahun. Kasus ini juga banyak menimpa kelompok usia 25 sampai 44 tahun.
Jumlah kasus KDRT per Oktober 2022 itu ternyata meningkat dari tahun sebelumnya. Menurut data polri.go.id, terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2021.
Lantas, sebenarnya adakah upaya yang bisa dilakukan untuk menekan angka KDRT?
Cegah KDRT dengan Perjanjian Pranikah
Psikolog Klinis Forensik, Kasandra Putranto, menyebut ada sebuah langkah preventif yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan. Tindakan tersebut adalah perjanjian pranikah.
“Melihat dari banyaknya angka kasus perceraian yang diakibatkan kekerasan dalam rumah tangga, diperlukan solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan tersebut, seperti perjanjian perkawinan,” tuturnya, dikutip dari hypeabis.id.
Perjanjian pranikah dinilai cocok sebagai langkah preventif kekerasan rumah tangga lantaran memberi kepastian hukum. Caranya, melalui perumusan sebuah janji nikah bagi kedua belah pihak agar mengetahui masing-masing hak dan kewajibannya.
Tak dapat dipungkiri, perjanjian pranikah di Indonesia seringkali masih dianggap tabu. Padahal, persoalan ini sudah tertuang dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Pasal itu mengatur kedua pihak, pada waktu atau sebelum perkawinan, dapat mengadakan perjanjian tertulis. Prawirohamidjojo dalam Jurnal Dinamika Hukum mengatakan perjanjian pranikah umumnya mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan.
Kendati demikian, bukan berarti perjanjian pranikah hanya sebatas mempersoalkan harta gono-gini. Perjanjian ini juga mengatur hal penting lain, termasuk perihal kekerasan dalam rumah tangga.
Perjanjian itu pun tak sekadar diteken di atas hitam-putih, melainkan juga disahkan di notaris. Setelah jadi, perjanjian harus dicatatkan atau disahkan pula oleh pegawai KUA serta catatan sipil.
Mengintip Keberhasilan Program Pranikah di Negeri Orang
Perjanjian pranikah sendiri tak cuma ada di Indonesia. Malahan, program-program sebelum pernikahan sudah lama melanggeng di negeri orang, kiranya sejak tahun 1900-an.
Hal itu sebagaimana diungkapkan dalam studi Premarital counselling: a focus for family therapy (Stahmann, 2000). Penelitian itu menyebut ada beberapa program pranikah yang ditujukan bagi pasangan yang hendak tinggal seatap sepanjang sisa hidupnya.
Secara umum, program tersebut mengombinasikan ‘pelatihan’ komunikasi. Ini berarti, pasangan bakal diminta untuk mendiskusikan sejumlah hal: riwayat kencan dan rencana pernikahan; serta ekspektasi terhadap pasangan, peran masing-masing dalam hubungan, kebutuhan, dan tujuan.
Selain itu, juga menyepakati perihal keuangan dan pertemanan setelah menikah; pertemuan orang tua; cara berkomunikasi bila menghadapi konflik; serta menentukan nilai dan prioritas masing-masing.
Program yang demikian, menurut Stahmann, terbukti efektif mencapai kesepakatan pranikah. Laporannya itu justru mengatakan program pranikah memberi efek positif bagi rumah tangga pasangan usai menikah.
Pasangan yang mengikuti program tersebut mengaku memiliki hubungan yang positif, di mana keduanya bisa berkomunikasi dengan baik manakala terjadi konflik. Di samping itu, juga belum ada laporan yang menyatakan efek negatif dari program pranikah.