bakabar.com, SURABAYA - Tradisi carok masih eksis di kalangan masyarakat berdarah Madura. Tak jarang peristiwa itu menimbulkan korban jiwa. Bagaimana pendapat pengamat soal tradisi ini?
Antropolog Universitas Airlangga (Unair), Djoko Adi Prasetyo mengatakan bahwa carok adalah salah satu kearifan lokal yang dimiliki suku bangsa Madura. Budaya berkelahi menggunakan celurit itu juga masih bertahan hingga kini.
“Meski sudah banyak upaya untuk menghapusnya,” kata pria yang akrab disapa Djodi itu kepada bakabar.com, Jumat (19/1).
Baca Juga: Kronologi Carok Maut Madura, Urusan Sorot Lampu Motor
Bagi masyarakat Madura, Carok dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mempertahankan diri dan kehormatan. Terutama saat harga dirinya diinjak-injak, dilecehkan, atau konflik terkait harta, tahta, dan wanita.
“Ada ungkapkan dari Madura soal membela harga diri, yakni Tambana Malo, Mate. Artinya, Obatnya Malu Adalah Mati,” tutur Djodi.
Menurut Djodi, para tokoh agama dan tokoh masyarakat Madura sebenarnya sudah berusaha untuk menyelesaikan konflik secara damai. Tanpa carok.
“Terbukti, kasus carok memang mengalami penurunan,” papar Djodi.
Baca Juga: Kakak Beradik Terancam Hukuman Mati Imbas Carok Massal di Madura
Namun, Djodi tak menampik bahwa carok masih digunakan di sebagian masyarakat untuk menyelesaikan masalah. Seperti carok massal di Bangkalan, Madura beberapa waktu lalu.
Maka, para tokoh masyarakat Madura harus kembali duduk bersama agar kejadian tak berulang. Mereka harus membicarakan hal ini bersama budayawan, pendidik, pemerintah, hingga aparat.
Tujuannya untuk meminimalisir dampak negatif yang bakal terjadi. Seperti kejadian yang menjatuhkan korban jiwa.
“Tujuannya tidak menghilangkan budaya tersebut, tetapi meminimalisir nilai-nilai negatif yang saling tidak menguntungkan dari berbagai pihak,” tandas dosen Antropologi Unair itu.