bakabar.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai peluncuran bursa karbon di bulan September 2023 merupakan kemajuan untuk Indonesia. Hal itu bentuk dari komitmen Indonesia dalam menekan emisi karbon di dalam negeri maupun secara global.
"Perdagangan karbon ini sebagai sebuah langkah maju," jelasnya kepada bakabar.com Selasa (25/7).
Nantinya, ujar Fabby, keuntungan yang diterima dari hasil penjualan karbon akan menjadi sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB). Penerimaan tersebut dapat dialokasikan secara tepat untuk mendorong hadirnya investasi energi terbarukan di tanah air demi meningkatkan efisiensi energi.
Selain itu, Fabbu menyoroti perlunya tindakan serius dari pemerintah berupa pembatasan jumlah emisi di masa depan. Hal itu harus segera dilakukan, tidak tidak ingin keaadan semakin memburuk hingga menyebabkan bencana besar di Planet Bumi.
Baca Juga: Bursa Karbon Tak Signifikan Kurangi Emisi, RI Butuh Instrumen Lain
"Kenaikan suhu sebesar 1,2 derajat, akan terus meningkat. Kecuali kita mengurangi emisi secara mendalam," papar Fabby.
Saat menghadiri penandatanganan Implementing Arrangement (IA) UK PACT Carbon Pricing, di Jakarta, Senin (24/7) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan potensi pendapatan sebesar USD1 miliar-USD15 miliar atau setara Rp225,21 triliun per tahun jika perdagangan karbon diterapkan.
Hal itu memungkinkan karena Indonesia mempunyai potensi tempat penyimpanan karbon antara 10 hingga 400 Giga Ton CO2 di reservoir minyak dan gas bumi (Migas). Adapun penerapan Carbon Capture Storage (CCS) merupakan strategi jangka pendek dalam mengurangi emisi di sektor ini.
Pemerintah telah memulai landasan penetapan harga karbon dengan memberlakukan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon. Tak lama kemudian, Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri tentang Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon Sub Bidang Pembangkit Listrik.
Baca Juga: Penerapan Bursa Karbon, Tren Asia: Tidak Ada Jaminan Kurangi Emisi GRK
Sementara itu, untuk instrumen pelengkap lainnya, seperti peta jalan penetapan harga karbon sektoral, regulasi pertukaran karbon, regulasi perdagangan karbon internasional, dan inventarisasi pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) secara bersamaan sedang dikembangkan
Atas dasar itu, Luhut memastikan mekanisme perdagangan karbon di Indonesia akan terlaksana pada September 2023 mendatang. Menurut Luhut pelaksanaan perdagangan karbon turut melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai bagian dalam pengawasan.