bakabar.com, JAKARTA – Berhubungan intim dengan istri selama masa menyusui, benarkah hal tersebut diharamkan?
Lantas bagaimana memahami hadits yang menyebutkan tentang dampak berhubungan intim dengan istri selama masa menyusui berdampak negatif terhadap anak?
Dalam bahasa Arab perbuatan itu disebut ghail. Ibnu Qayyim dalam Tahdzib Sunan Abi Dawud fi ‘Alam Al-Fawaid menjelaskan dua riwayat yang berbeda yang pertama.
عَنْ جُدَامَةَ بِنْتِ وَهْبٍ الْأَسَدِيَّةِ ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ ، حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ثمَّ سَأَلُوهُ عَن الْعَزْل؟ فَقَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم: ذَاك الوأد الْخَفي
Dari Judamah binti Wahab al-Asadiyah bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau berada bersama orang banyak. Beliau bersabda:
“Semula aku bermaksud melarang ghail. Kemudian, aku memperhatikan orang Romawi dan Persia, ternyata mereka melakukan ghail terhadap anak-anak mereka dan hal itu tidak membahayakan sedikitpun terhadap anak-anak mereka.”
Selanjutnya, orang-orang pun bertanya kepada beliau tentang ‘azl’. Jawab beliau, itu adalah mengubur hidup-hidup secara samar…”
Dan seperti firman Allah SWT dalam At-Takwir ayat 8 yang artinya: وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ “Ketika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya.”
Riwayat di atas kemudian dikuatkan dengan hadits riwayat Imam Muslim meriwayatkan pula dalam Shahih-nya:
عن سَعْد بْن أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّ رَجُلا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ( إِنِّي أَعْزِلُ عَنْ امْرَأَتِي . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لِمَ تَفْعَلُ ذَلِكَ ؟ فَقَالَ الرَّجُلُ : أُشْفِقُ عَلَى وَلَدِهَا . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ كَانَ ذَلِكَ ضَارًّا ضَرَّ فَارِسَ وَالرُّومَ
Dari Sa’ad bin Abi Waqash, ada seseorang datang kepada Rasulullah lalu berkata, “Sesungguhnya saya menjauhi istriku.” Rasulullah SAW bertanya, “Mengapa kamu lakukan itu?” Orang itu berkata, “Aku kasihan pada anaknya,” atau, anak-anaknya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Andaikan itu berbahaya, tentu telah menimbulkan bahaya terhadap orang-orang Persia dan Romawi.”
Sementara itu, terdapat riwayat kedua dari Rasulullah yang justru menyebutkan tentang dampak negatif berhubungan intim dengan istri pada masa menyusui, yaitu sebagai berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ بْنِ السَّكَنِ ، وَكَانَتْ مَوْلَاتَهُ ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : لَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ سِرًّا ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، إِنَّ الْغَيْلَ لَيُدْرِكُ الْفَارِسَ عَلَى ظَهْرِ فَرَسِهِ حَتَّى يَصْرَعَهُ
Dari Asma binti Zaid, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda. “Janganlah kamu membunuh anak-anakmu secara diam-diam, demi Allah yang menggenggam jiwaku! Semestinya orang ini memperoleh anak yang kelak menjadi penunggang kuda, tetapi dia menginjak anak itu.”
Asma mengatakan, “Saya tanyakan apa maksudnya?” Asma’ juga berkata, “Ghail, yaitu seorang mendatangi istrinya, sedangkan dia sedang menyusui (anaknya).” HR Imam Ahmad dan Imam Abu Daud.
Ibnu Qayyim mengatakan banyak ulama merasa kesulitan menggabungkan antara hadits-hadis di atas. Ada sekelompok dari mereka mengatakan sabda Nabi “Semula aku telah bermaksud melarang ghail,” maksudnya, beliau mengharamkan dan mencegahnya. Dengan demikian, itu tidak berlawanan dengan sabda beliau pada hadits lain, “Janganlah kamu membunuh anak-anakmu secara diam-diam.”
“Namun, larangan itu sebenarnya hanyalah saran dan bimbingan bagi para sahabat agar mereka meninggalkan tindakan yang melemahkan dan membunuh anak,” katanya.
Mereka berkata, “Alasannya, ketika seorang ibu yang sedang menyusui dicampuri suaminya, hal itu akan memancing dan menggerakkan darah haid keluar. Dengan demikian, air susunya tidak lagi normal dan baunya tidak lagi sedap.
Bahkan, ibu yang dicampur saat itu boleh jadi mengalami kehamilan. Kehamilan pada saat itu adalah sesuatu yang amat buruk dan membahayakan anak yang sedang disusui. Hal itu karena darah yang baik beralih menjadi makanan janin yang sedang ada dalam rahim sehingga darah itu habis menjadi makanannya.
Meskipun yang di diperoleh dan diserap janin sebenarnya sesuatu yang tidak diperlukan, hal itu cocok baginya karena ia selalu berhubungan dengan ibunya seperti halnya tanaman melekat pada tanah. Dan tidak berpisah dari ibunya sedang siang dan malam. Begitu pula darah wanita hamil itu berkurang dan jelek. “Dengan demikian susu yang terhimpun dalam praktiknya menjadi sedikit dan jelek mutunya,” katanya.
Oleh karena itu, ketika seorang ibu yang menyusui, maka yang terbaik anaknya itu dijauhkan dari ibu itu, karena jika anak itu meminum susunya yang bermutu jelek tadi, dia dapat terbunuh atau akan mengalami kelemahan yang baru dia rasakan kelak di waktu besar seolah-olah dia terbanting dari pundaknya dan terinjak. “Itulah saran dan bimbingan yang diberikan Nabi kepada para sahabatnya saat itu agar tidak melakukan ghail,” katanya.
Jadi, kata Ibnu Qayyim, bukan berarti beliau mengharamkan ghail, karena keterangan tadi tidak selalu terjadi pada setiap anak, meskipun mungkin saja menimpa sebagian anak. Pada kenyataannya banyak orang yang mencampuri istri mereka saat menyusui. “Andaikan bahaya itu sesuatu yang pasti terjadi pada setiap anak, niscaya semua manusia merasakannya,” katanya.
Dua bangsa besar seperti Persia dan Romawi saat itu biasa melakukannya ternyata bahayanya tidak merata pada semua anak-anak mereka. Namun bagaimanapun, lebih berhati-hatilah jika ibu yang menyusui ternyata hamil. “Hendaklah anak yang menetek padanya segera dijauhkan darinya dan carilah wanita lain sebagai penggantinya. Wallahualam.” (Rep)
Editor: Syarif