bakabar.com, JAKARTA – Mohammad Hatta merupakan salah satu pendiri bangsa yang turut serta dalam mengumandangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selain terkenal dengan perjuangannya, Bung Hatta juga identik sebagai sosok sederhana yang tak gila harta.
Kesederhanaan Bung Hatta barangkali menjadi kisah melegenda bagi pejabat Indonesia masa kini. Dirinya, yang notabene sempat mengemban jabatan penting, tak sedikit pun mengamini tindakan korupsi.
Malahan, dia tak segan-segan mengembalikan biaya perjalanan dinas ke negara, manakala ada kelebihan uang saku.
Misalnya saja, ketika Bung Hatta menerima undangan ke Irian Jaya - sekarang Papua - pada 1970, tatkala dirinya sudah tak lagi menjabat wakil presiden. Menteri Koordinator Keuangan kala itu, Sumarno, sempat menyodori 'uang saku' kepada sang proklamator.
"Bukankah semua ongkos perjalanan saya sudah ditanggung pemerintah? Dapat mengunjungi daerah Irian ini saja saya sudah harus bersyukur, ” ungkap pria kelahiran 12 Agustus 1902 itu, sebagaimana dituturkan dalam buku Mengenang Bung Hatta (1988) karya I Wangsa Widjaja, sekretaris sang wakil presiden yang menemaninya selama puluhan tahun.
"Bung, ini uang dari pemerintah, termasuk dalam biaya perjalanan Bung Hatta dan rombongan,” timpal Sumarno, yang saat itu bertanggung jawab mengatur kunjungan dari suami Rahmi Rachim ini.
"Tidak, itu uang rakyat. Saya tidak mau terima. Kembalikan,” tegas Bung Hatta, sembari menolak amplop yang disodorkan kepadanya.
Hidup Seadanya dengan Uang Pensiun
Kisah Bung Hatta menolak uang lebih berlanjut satu tahun setelahnya, tepatnya pada 1971, ketika dia pergi berobat ke Belanda. Setibanya di Tanah Air, Bung Hatta bertanya kepada Wangsa perihal catatan penerimaan dan pemakaian uang selama perjalanan.
Ketika mengetahui ada sisa uang, dia lantas memerintahkan sekretarisnya itu untuk mengembalikan anggaran tersebut kepada negara. Bung Hatta berdalih, "Kebutuhan rombongan dan saya sudah tercukupi, jadi harus dikembalikan."
Wangsa menyebut, saat itu tak pernah terlintas sedikit pun dalam benak Bung Hatta untuk memanfaatkan uang negara demi memenuhi kepentingan pribadi. Dia bersikukuh menolak uang yang dirasa bukan haknya, meskipun kondisi ekonominya sendiri tengah morat-marit.
Ya, ekonomi keluarga Bung Hatta memburuk usai dirinya pensiun menjadi wakil presiden. Uang pensiunan yang diterimanya itu bahkan tak cukup untuk sekadar membeli gula, kopi, apalagi membayar tagihan listrik.
"Bagaimana saya bisa membayarnya dengan pensiun saya? Kalau tidak ingat Yuke (istrinya), saya tidak berkeberatan hanya memakai lampu tempel saja,” katanya pasrah.
Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatra Barat, ini akhirnya memutuskan untuk mengirim sepucuk surat kepada Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin. Isinya, Bung Hatta meminta agar semua tagihan listriknya dipotong langsung dari uang pensiun bulanan.
Pecinta Buku yang Penuh Integritas dan Berwawasan Luas
Boleh jadi, sifat sederhana Bung Hatta itu tumbuh seiring kebiasannya membaca banyak buku; bak peribahasa ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Sedari dulu, pria berjuluk Bapak Koperasi Indonesia itu memang selalu haus wawasan.
Hal ini pula lah yang menjadikannya pemimpin berintegritas, yang menentang penjajah tanpa kekerasan. Hanya berbekal pena dan kertas, Bung Hatta mampu membuat 'senjata' yang menggelorakan semangat kebangsaan anak muda.
Dia menuliskan suara dan gagasannya dengan tajam dalam tinta pena. Cara ini, dianggap oleh banyak kalangan, tak kalah jitu ketimbang memanggul bedil dan menembakkan senjata api mana pun.
Kesadaran politik Bung Hatta ternyata sudah muncul ketika dirinya masih aktif bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Kala itu, dia sering mengikuti ceramah dan pertemuan politik yang diadakan oleh tokoh politik lokal di Padang.
Tajamnya analisis dan kerasnya suara Bung Hatta dalam menggaungkan kemerdekaan Indonesia, sempat membuatnya diasingkan ke Irian Jaya. Meski begitu, hal ini tak sedikit pun menyurutkan semangatnya untuk terus menulis buku.
Sampai akhir hayatnya, Bung Hatta terus membaca dan menulis buku. Bahkan, ketika dirinya wafat pada 1980, dia meninggalkan warisan berupa perpustakaan pribadi yang memuat 30 ribu judul buku. (Nurisma)