bakabar.com, JAKARTA - Bank Dunia pada Selasa (10/1) menyatakan pertumbuhan global akan melambat tajam menjadi 1,7 persen pada 2023. Laju ekspansi terlemah ketiga dalam waktu tiga dekade terakhir dan persentase 1,3 poin lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
Hal itu terjadi karena adanya pengetatan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi dan perang Rusia di Ukraina.
Sejumlah kawasan seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China akan mengalami "periode kelemahan yang nyata". Menurut lembaga yang berbasis di Washington itu, guncangan negatif lebih lanjut akan terjadi, termasuk inflasi yang tinggi.
"Kenaikan suku bunga yang tiba-tiba untuk menahannya, dan kebangkitan kembali pandemi COVID-19, bisa mendorong ekonomi global ke dalam resesi," kata laporan setengah tahunan bertajuk 'Prospek Ekonomi Global'.
Pertumbuhan global telah melambat, hampir jatuh ke dalam resesi yang didefinisikan sebagai kontraksi dalam pendapatan per kapita global tahunan. "Hanya tiga tahun setelah keluar dari resesi yang disebabkan pandemi pada 2020," kata laporan tersebut.
Pertumbuhan global diperkirakan akan pulih menjadi 2,7 persen pada 2024, turun 0,3 poin dari proyeksi Juni. Penurunan tajam dalam pertumbuhan kemungkinan akan meluas, dengan proyeksi pertumbuhan yang diturunkan untuk hampir semua negara maju.
"Sementara itu, sekitar dua pertiga dari emerging markets dan ekonomi berkembang pada 2023, dan sekitar setengah dari semua negara pada 2024 akan terdampak," demikian bunyi laporan tersebut.
Khusus di Amerika Serikat, pertumbuhan akan melambat menjadi 0,5 persen tahun ini, 1,9 poin di bawah proyeksi sebelumnya. Menurut Bank Dunia, negara terbesar di dunia itu mengalami pengetatan kebijakan moneter paling cepat dalam 40 tahun terakhir untuk meredam kenaikan harga makanan dan energi.
Dengan inflasi yang diperkirakan moderat tahun ini, karena melemahnya pasar tenaga kerja dan tekanan upah menurun, ekonomi AS kemungkinan tetap tumbuh 1,6 persen tahun depan, direvisi turun sebesar 0,4 poin.
Di China, aktivitas ekonomi memburuk pada 2022 seiring pembatasan kebijakan "nol-COVID" dan kekeringan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pertumbuhan tahun ini diperkirakan meningkat menjadi 4,3 persen karena pencabutan pembatasan pandemi. Jumlah itu, turun 0,9 poin dari perkiraan Juni.
Untuk Jepang, tahun ini, pertumbuhan diantisipasi melambat menjadi 1,0 persen, menurun 0,3 poin dari Juni, setelah pertumbuhan 1,2 persen pada 2022. Bank Dunia mencatat, laju lamban akan terlihat bersamaan dengan perlambatan ekonomi maju lainnya.
Negara Asia yang miskin sumber daya itu menghadapi tantangan karena harga energi yang tinggi mengikis daya beli rumah tangga dan mengurangi konsumsi. Produk domestik bruto riil Jepang diperkirakan tumbuh 0,7 persen pada 2024, 0,1 poin lebih tinggi dari yang diperkirakan pada Juni.
Sementara itu, kawasan Eropa akan mengalami pertumbuhan nol persen tahun ini, direvisi turun 1,9 poin, karena gangguan pasokan energi yang sedang berlangsung akibat invasi Rusia ke Ukraina. Faktor lainnya, pengetatan kebijakan moneter tingkat lanjut. Kawasan ini akan tumbuh 1,6 persen tahun depan, Bank Dunia memperkirakan.
Selain itu, volume perdagangan global diperkirakan tumbuh 1,6 persen tahun ini, setelah melonjak 10,6 persen pada 2021 dan meningkat 4,0 persen pada 2022.
Ke depan, Bank Dunia memperingatkan bahwa bank-bank sentral perlu menaikkan suku bunga lebih dari yang diharapkan saat ini, tergantung dari inflasi dan antisipasi risiko akibat "salah kebijakan langkah."
Dalam skenario resesi, di mana kondisi keuangan yang lebih ketat diasumsikan mengakibatkan kesulitan pembiayaan yang meluas di negara emerging markets dan berkembang.
Menurut Bank Dunia, produk domestik bruto global hanya akan tumbuh sebesar 0,6 persen pada 2023. Ini akan diterjemahkan ke dalam kontraksi 0,3 persen per kapita, ungkap laporan itu.