Nasional

Bangladesh Tolak Masuk, Ratusan Rohingya Terdampar di Laut

apahabar.com, DHAKA – Pemerintah Bangladesh menolak izin mendarat sekitar 500 pengungsi Rohingya yang terdampar di atas…

Featured-Image
Ilustrasi – Seorang perempuan pengungsi Rohingya yang kelelahan menyentuh pantai setelah menyebrangi perbatasan Bangladesh-Myanmar dengan kapal melalui Teluk Bengal, di Shah Porir Dwip, Bangladesh. Foto-Antara

bakabar.com, DHAKA – Pemerintah Bangladesh menolak izin mendarat sekitar 500 pengungsi Rohingya yang terdampar di atas dua kapal pukat ikan di Teluk Bangal, Sabtu (25/04) waktu setempat. Langkah Bangladesh itu mengundang kritik dari kelompok hak asasi manusia.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Bangladesh, AK Abdul Momen mengatakan, para pengungsi Rohingya yang telah berada di laut dalam jangka waktu yang lama itu bukanlah tanggung jawab Bangladesh. Menurutnya, itu adalah tanggung jawab pemerintah Myanmar.

“Mengapa Anda bertanya kepada Bangladesh untuk mengurus Rohingya? Mereka berada di laut dalam, bahkan bukan di perairan teritorial Bangladesh. Adalah tugas Anda untuk bertanya kepada pemerintah Myanmar terlebih dahulu karena mereka adalah warga negara (Myanmar),” kata Momen kepada Aljazirah, Sabtu (26/04).

Kedua kapal pukat diperkirakan membawa sekitar 500 pengungsi Rohingya yang terdiri atas wanita, pria, dan anak-anak. Kapal berada di Teluk Benggala setelah ditolak Malaysia yang memberlakukan pembatasan pada semua kapal sehubungan dengan pandemi virus corona.

Menurut badan pengungsi PBB, UNHCR, Rohingya yang terdampar mungkin telah berada di laut selama berminggu-minggu tanpa makanan dan air yang memadai. Momen mengatakan bahwa beberapa minggu yang lalu, Bangladesh menyelamatkan total 396 orang Rohingya dari sebuah kapal yang telah terpaut sekitar dua bulan setelah juga gagal mencapai Malaysia.

“Mengapa Bangladesh harus mengambil tanggung jawab setiap kali? Bangladesh telah mengambil lebih dari satu juta Rohingya. Kami kehabisan kedermawanan kami sekarang,” ujarnya.

Human Rights Watch (HRW) mengatakan pemerintah Bangladesh harus segera mengizinkan para pengungsi yang terdampar ke darat dan memberi mereka makanan, air, dan perawatan kesehatan yang diperlukan.

“Bangladesh telah memikul beban berat sebagai akibat dari kejahatan kekejaman militer Myanmar, tetapi ini bukan alasan untuk mendorong muatan kapal pengungsi ke laut untuk mati,” kata Brad Adams, direktur Asia di HRW, Sabtu (25/04).

“Bangladesh harus terus membantu mereka yang menghadapi risiko besar dan mempertahankan niat baik internasional yang telah diperolehnya dalam beberapa tahun terakhir karena membantu Rohingya,” ujarnya menambahkan.

Namun demikian, otoritas pesisir Bangladesh membantah keberadaan kapal pukat yang membawa pengungsi Rohingya di perairan teritorialnya. Berbicara kepada Aljazirah, kepala stasiun penjaga pantai Bangladesh Teknaf, Komandan Letnan Sohail Rana mengatakan pihaknya belum melihat kapal yang membawa pengungsi Rohingya di perairan teritorial Bangladesh dalam beberpa hari terkahir. “Daerah yang kami patroli tidak memiliki perahu seperti itu,” kata Rana.

Namun, seorang nelayan Bangladesh mengatakan kepada HRW bahwa pada 20 April dia melihat dua pukat penuh Rohingya datang ke pantai. “Sementara saya berada di laut dengan pukat memancing dengan yang lain,” katanya.

Pada hari yang sama, seorang penduduk setempat memposting status di Facebook: “Sekali lagi, kapal pukat penuh Rohingya sedang menuju ke Baharchara Union (di Cox’s Bazar). Mereka menunggu di laut untuk masuk ke Bangladesh,” katanya.

HRW meyakini bahwa sebagian besar pengungsi Rohingya yang berada di atas kapal pukat telah meninggalkan kamp-kamp pengungsi di Bangladesh dalam upaya mencapai Malaysia.

Dalam sebuah pernyataan, HRW mengatakan, Bangladesh harus terus menegakkan kewajiban internasionalnya untuk tidak mengembalikan pengungsi ke tempat-tempat di mana mereka menghadapi penganiayaan, dan tidak mengembalikan siapa pun ke tempat mereka akan menghadapi risiko penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya.

HRW juga mengatakan bahwa semua negara, termasuk Malaysia dan Thailand, memiliki tanggung jawab di bawah hukum internasional untuk menanggapi kapal dalam kesulitan.

Negaa wajib memberlakukan atau mengoordinasikan operasi penyelamatan dalam operasi pencarian dan penyelamatan orang terdampar, dan tidak mendorong kembali para pencari suaka yang mempertaruhkan hidup mereka di laut.

Amnesty International pekan lalu meminta pemerintah Asia Tenggara untuk segera memulai operasi pencarian dan penyelamatan bagi ratusan pengungsi Rohingya yang berpotensi merana di laut.

Amnesty International mengatakan, pandemi Covid-19 tidak bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk meninggalkan tanggung jawab mereka terhadap pengungsi.

“Semua negara di kawasan ini memiliki tanggung jawab untuk memastikan laut tidak menjadi kuburan bagi orang-orang yang mencari keselamatan. Bangladesh tidak bisa dibiarkan mengatasi situasi ini sendirian. Fakta bahwa mereka menegakkan kewajibannya sendiri bukan alasan bagi orang lain untuk meninggalkan mereka,” kata Biraj Patnaik, direktur Asia Selatan di Amnesty International.

Kendati demikian, Menlu Bangladesh menunjukkan bahwa negara-negara lain juga perlu bergerak untuk membantu para pengungsi Rohingya, tak hanya bertumpu di negaranya saja.

“Mohon minta PBB dan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada untuk memikul beberapa tanggung jawab. Kami siap mengirim orang Rohingya ke negara mereka jika mereka bersedia mengambilnya,” kata Momen.(Ant)

Editor: Aprianoor



Komentar
Banner
Banner