bakabar.com, JAKARTA - “Laju sepeda kumbang di jalan berlubang, selalu begitu dari zaman Jepang. Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang, banyak polisi bawa senjata berwajah garang.”
Demikianlah sepenggal lirik Oemar Bakrie, lantunan karya Iwan Fals yang mengisahkan sosok pahlawan tanpa tanda jasa di Indonesia. Adalah Abang Landoeng, sang pendidik yang menjadi inspirasi di balik lagu tersebut.
Jebolan Algemeen Metddelbare School (pendidikan setingkat SMA) angkatan 1942 itu teramat berdedikasi pada pendidikan di negeri ini. Kala usianya masih muda, Landoeng rela berkeliling Kota Bandung dengan sepeda kumbangnya.
Berbekal papan tulis kecil dan kapur, Landoeng muda bertanya kepada tukang panggul atau petani yang dia temui di sepanjang perjalanan: apakah mereka bisa membaca. Kalau belum, dia akan mengajarinya dengan senang hati.
“Tidak dibayar; jadi sukarelawan saja. Terus seperti itu hingga zaman kemerdekaan,” demikian pengakuan Abah Landoeng. “Karena sampai tahun 1950-1960an, Indonesia masih berperang melawan buta huruf. Hati abah tergerak,” dalihnya.
Kendati bertahun-tahun mengabdi untuk negeri, pria kelahiran 1926 itu tak mendapat ganjaran sepadan. Sebagaimana paradoks yang digambarkan Iwan Fals lewat karyanya, “Oemar Bakrie 40 tahun mengabdi [...] tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie seperti dikebiri.”
Lontang-Lantung Nasib Guru Tanah Air
“Jadi guru berbakti memang makan hati.” Larik tersebut agaknya sesuai dengan yang dirasakan para pendidik di negeri ini. Bagaimana tidak, meski zaman silih berganti, nasib guru tak kunjung pasti.
Utamanya bagi guru yang berstatus honorer, nasib mereka terkatung-katung. Mereka sedikitnya hanya menerima gaji tak lebih dari Rp1,5 juta, sesuai Permendiknas Nomor 72 Tahun 2008.
Beleid tersebut mengatur bahwasanya guru tetap bukan PNS yang memiliki sertifikat pendidik tetapi belum memiliki jabatan fungsional guru, diberikan tunjangan guru profesi sebesar Rp1,5 juta setiap bulan, sampai dengan memperoleh jabatan fungsional guru.
Namun, tentu kenyataan di lapangan tak melulu persis dengan yang tertera di atas hitam putih. Faktanya, sebagaimana dilaporkan detikcom, masih banyak guru honorer yang hanya dibayar Rp150 ribu sampai Rp300 ribu per bulan.
Selain gaji, beban kerja guru honorer turut menjadi persoalan. Tak sedikit di antara mereka yang bekerja dengan guru PNS bermental bos; mengandalkan guru honorer untuk mengisi kelas kosong atau saat kegiatan ekstrakurikuler.
Terlebih lagi, kini pemerintah menerapkan kebijakan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Permasalahan yang demikian pun terus digaungkan.
Pada Rabu (9/11/2022) kemarin, misalnya, sejumlah guru honorer mengeluhkan nasib pada Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Mereka menagih status karena mengalami ketidakpastian usai lolos tahap passing grade prioritas 1 seleksi PPPK pada 2021.
Bukan sekadar mengeluh, perwakilan guru ini juga memberikan data. Di mana, tercatat ada sekitar 54.000 guru yang nasibnya masih lontang-lantung, tanpa SK pengangkatan ataupun penempatan.
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Haeri, menilai permasalahan yang demikian memang masih marak dijumpai. “Itu keadaannya adalah carut marut, jadi pernyataan Pak Nadiem Makarim dulu bilang 1 juta guru akan kami angkat itu ghosting sekali,” ujarnya, dikutip dari Tirto, Jumat (25/11).
Imam bahkan merinci kebutuhan guru total sejatinya 1.002.616 orang, tapi yang diterima hanya 293.860 orang. Dari 293 ribu orang itu, sebanyak 193.954 di antaranya yang belum mendapat penempatan sejak lulus tes.
Dia pun menilai angka tersebut tidak sedikit, mengingat sejumlah guru honorer yang telah lulus dan tidak lagi bekerja, diminta keluar dari sekolah swasta demi ikut PPPK. Hal itu juga berimbas pada kinerja sekolah swasta.
Jauh Berbeda dengan Nasib Guru di Negeri Orang
Melansir Business Insider, gaji guru di negeri orang juga kerap menjadi diskursus yang terus digodok.
Namun, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan, gaji guru terburuk di negara lain sekali pun jauh lebih besar ketimbang di Indonesia.
Di Luksemburg, misalnya, guru sekolah dasar dengan pengalaman 15 tahun mendapat bayaran paling tinggi Rp146 juta per bulan. Guru sekolah menengah atas memperoleh pendapatan lebih tinggi, yakni Rp162 juta per bulan.
Sementara, di Slovakia, pendapatan guru sekolah dasar paling kecil bisa mencapai Rp25,9 juta per bulan. Nominal tersebut tak berbeda jauh dengan guru jenjang sekolah menengah atas, di mana mendapat gaji sekitar Rp25,6 juta per bulan.