bakabar.com, JAKARTA - Tidak ingin bergantung sepenuhnya pada impor, pemerintah kini memperluas program bahan bakar nabati (biofuel) dengan melirik etanol sebagai campuran (blending) BBM. Rencana itu mengikuti program bahan bakar nabati (BBN) dengan blending biodiesel dan solar yang kini dalam tahap uji coba B40 (40% biodiesel dan 60% solar).
Salah satu yang sedang dirintis adalah penggunaan etanol yang berasal dari tetes tebu atau dikenal sebagai bioetanol bahan bakar. Bioetanol jenis itu memiliki kadar sangat tinggi, yakni 99,5%.
Indonesia berencana melakukan produksi besar-besaran bioetanol sebagai bagian dari bahan bakar nabati (BBN). Produksi bioetanol didasarkan atas Peraturan Presiden (Perpres) 40 Tahun 2023 mengenai Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
Pada tahun 2030, diproyeksikan produksi tebu nasional mencapai 110,1 juta ton. Dari jumlah itu akan dihasilkan tetes 4,95 juta ton. Jika semua produk tetes atau molases itu diolah menjadi etanol akan dihasilkan 1.239.283 kiloliter.
Baca Juga: Bioetanol RON 95 Diluncurkan Juli, Pertamina: Sekarang Lagi Finalisasi
Dengan kebutuhan bensin non-PSO pada 2030 sebesar 9 juta kiloliter, potensi bioetanol jadi 13,8%. Meskipun belum sebesar biodiesel 30%, bioetanol 13,8% diharapkan bisa menekan kebutuhan impor BBM. Dengan begitu, devisa impor BBM bisa ditekan, sehingga bisa memperbaiki neraca perdagangan.
Corporate Secretary PT PN III (Persero) Bambang Agustian menjelaskan bioetanol pada dasarnya adalah etanol atau senyawa alkohol yang diperoleh melalui proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme.
Bioetanol yang diperoleh dari hasil fermentasi memiliki berbagai kadar. Bioetanol dengan kadar 90-94% disebut bioetanol tingkat industri. Adapun yang memiliki kadar 94-99,5% dikenal sebagai bioetanol tingkat netral, umumnya dipakai untuk campuran minuman keras. Sementara diatasnya ada bioetanol tinggat tinggi dengan kadar minimal 99,5%.
Menurut Bambang, produksi bioetanol merupakan bentuk dukungan terhadap kebijakan hilirisasi industri berbasis tebu. Hal itu perlu dikembangkan demi memperkuat program ketahanan energi yang digagas pemerintah.
Baca Juga: Menteri ESDM Pastikan Bioetanol Tidak Disubsidi, Beda dengan Solar
Selanjutnya, kata Bambang, pembangunan pabrik bioetanol (fuel grade ethanol) sedang direncanakan. Nantinya akan ada 9 pabrik baru dengan produksi 150 kiloliter per day (KLPD)
"Sebanyak 9 pabrik baru masing-masing kapasitas 150 KLPD dengan total investasi Rp5,2 Triliun dan diharapkan pada tahun 2030 dapat memenuhi 34% dari total kebutuhan blending bahan bakar E5," ujar Bambang kepada bakabar.com, Senin (26/6).
Kata Bambang, pembangunan pabrik bioetanol akan dilaksanakan secara bertahap dan linier dengan kegiatan hulu agro industri, utamanya produksi gula. Sejauh ini, salah satu yang masih mengganjal adalah ketersediaan lahan.
"Terutama ketersediaan lahan yang mendukung peningkatan jumlah tebu giling, dimana unit usaha pabrik bioetanol akan diintegrasikan dengan pabrik gula," ujar Bambang.
Baca Juga: Rencana RI Produksi 1.2 Juta KL Bioetanol, Begini Kata Pengamat
Sejauh ini, PT PN III telah memiliki 1 pabrik bioetanol berkapasitas 100 kiloliter/hari yang berlokasi di Mojokerto. Pabrik tersebut siap memenuhi kebutuhan bioethanol fuel-grade di Jawa Timur sebagai komponen blending Green Pertamax (E5).
"Tahun ini, PT PN III akan menambah 2 pabrik bioetanol dengan kapasitas masing-masing 150 kL/hari, sehingga kapasitas total produksi bioetanol PTPN mencapai 400 kL/hari atau setara dengan 132 ribu kL/tahun. Kapasitas tersebut setara dengan 12% kebutuhan nasional untuk memproduksi E5," tuturnya.