News

Babak Baru Skandal Bupati Nonaktif HSU, Wahid Segera Disidang di Banjarmasin

apahabar.com, TANJUNG – Skandal korupsi yang menyeret Bupati nonaktif Hulu Sungai Utara (HSU), Abdul Wahid memasuki…

Featured-Image
Wahid berbicara dengan seorang nenek yang setia menghadiri sidang. apahabar.com/Syahbani

bakabar.com, TANJUNG – Skandal korupsi yang menyeret Bupati nonaktif Hulu Sungai Utara (HSU), Abdul Wahid memasuki babak baru.

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyerahkan berkas perkara dugaan tindak pidana suap, gratifikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Wahid ke Tim Jaksa, Kamis (17/3).

Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan penyerahan tersangka Wahid beserta barang bukti tahap II tersebut diserahkan menyusul berkas perkara telah dinyatakan lengkap.

“Karena kelengkapan berkas perkaranya dinyatakan lengkap,” ujar Fikri kepada bakabar.com, Kamis sore.

Tim Jaksa, lanjut Fikri masih tetap melakukan penahanan terhadap Wahid selama 20 hari terhitung hari ini 17 Maret 2022 sampai 5 April 2022 di Rumah Tahanan KPK pada gedung Merah Putih, Jakarta.

Selanjutnya, dalam waktu 14 hari kerja, Tim Jaksa segera menyusun surat dakwaan dan melimpahkan berkas perkaranya ke Pengadilan Tipikor.

“Persidangan dijadwalkan akan berlangsung di Pengadilan Tipikor pada PN (Pengadilan Negeri) Banjarmasin,” pungkasnya.

Sebagai pengingat, Wahid sendiri telah berstatus sebagai tersangka atas kasus korupsi komitmen fee 15 persen terkait pengerjaan DIR Banjang dan Kayakah di HSU. Ia juga diancam KPK menggunakan pasal pencucian uang.

18 November, KPK menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka suap pengadaan barang dan jasa di proyek irigasi Banjang dan Kayakah.

Penangkapan berawal saat operasi tangkap tangan tim KPK pada 15 September 2021 di Amuntai, HSU.

KPK lebih dulu menangkap Maliki, pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Dinas PUPR Kabupaten HSU; Direktur CV Hanamas Marhaini (MRH); dan Direktur CV Kalpataru Fachriadi (FH) di lokasi yang berbeda.

Marhaini dan Fachriadi selaku pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 65 KUHP.

Maliki selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.

Sementara, Wahid yang diduga menerima suap dan gratifikasi hingga senilai total Rp18,9 miliar disangka Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 KUHP Jo Pasal 65 KUHP.

Pemkab HSU jadi bulan-bulanan di halaman selanjutnya:

Apa yang ditanam, itu yang dipetik. Peribahasa tersebut mungkin pantas menggambarkan kondisi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Utara (HSU) saat ini.

Daerah berjuluk Kota Itik panen sorotan dalam rapat koordinasi pemberantasan korupsi terintegrasi pemerintah daerah di Provinsi Kalimantan Selatan, Kamis (17/3).

Kegiatan yang digelar di Gedung Mahligai Pancasila Banjarmasin itu turut kedatangan Wakil KPK RI, Nurul Ghufron serta seluruh kepala daerah Kalsel.

Hasil survei yang dikantongi KPK, HSU memang mendapat penilaian cukup buruk dari berbagai indikator.

SPI (survei penilaian integritas) menunjukkan skor HSU hanya 64,92. Angka itu paling rendah dibanding 13 Pemda lain di Kalsel, termasuk Pemprov.

Capaian Monitoring Centre for Prevention (MCP) Kabupaten HSU 2021 juga tercatat sebagai yang terendah di Kalsel. Indeksnya hanya 68,57.

MCP merupakan monitoring capaian kinerja program koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi (korsupgah), yang dilaksanakan pemerintah daerah di seluruh Indonesia, serta meliputi delapan area intervensi.

Kedelapan area intervensi program MCP tersebut, yaitu terdiri dari, perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, perizinan, pengawasan APIP, manajemen ASN, optimalisasi pajak daerah, manajemen aset daerah, dan tata kelola keuangan desa.

Tidak selesai sampai di situ, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) HSU pada 2021 masih jauh dari harapan.

Data menyebut penyampaian LHKPN HSU hanya 26,47 persen. Terendah nomor dua setelah Kabupaten Balangan.

Masalah juga terjadi di tingkat legislatif. Versi yang sama menunjukkan penyampaian LHKPN HSU masih nol persen. Sama dengan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).

Berbagai indikator itu, membuat HSU masuk zona merah KPK bersama Hulu Sungai Tengah.

Tentu, sederet hasil buruk di atas tidak lepas dari tindakan eks Bupati Abdul Wahid yang tertangkap tangan (OTT) KPK akhir tahun lalu.

Ya, Abdul Wahid resmi ditetapkan sebagai tersangka pada 18 November 2021. Ia diduga melakukan tindak pidana korupsi penerimaan sejumlah komitmen fee senilai puluhan miliar rupiah.

"Survei tersebut dinilai langsung oleh masyarakat. MCP dan SPI sebagai gambaran kondisi di lapangan. Bila MCP-SPI nya rendah, memang sesuai faktanya, terbukti ada OTT," singgung Nurul Ghufron.

Menurutnya, MCP dan SPI sudah sesuai korelasi. Ghufron berkata MCP bakal tercapai bila Pemda berkomitmen mewujudkan lingkungan yang bersih dari korupsi.

"Walaupun MCP dilaksanakan, tetapi tidak komitmen untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraannya, MCP itu tidak akan menghindari korupsi," jelasnya.

Pemda yang masih jauh dari harapan diminta agar segera berbenah. Ghufron masalah ini menjadi tantangan bagi pemangku kebijakan ke depan.

Sementara Plt Inspektur Kabupaten HSU, Fahrudin beralasan hasil itu terjadi lantaran tak ada antisipasi dini, baik dari eksekutif hingga legislatif.

"Sebelumnya nilai indikator itu tidak seperti yang sekarang," ucapnya, di hadapan seluruh forum rakor.

Meski begitu, ia mengakui bahwa seluruh pihak di lingkup Pemkab HSU mesti segera berbenah. Menurutnya tak ada kata terlambat dalam perbaikan.

Meluruskan Benang Kusut

Usai ditangkap, Abdul Wahid banyak meninggalkan lubang di Pemkab HSU. Sehingga Plt Bupati Husairi Abdi hanya ketiban sisanya.

Banyak tambal sulam yang mesti dilakukan Husairi dalam sisa waktu jabatan kurang lebih 7 bulan.

Ia mengklaim sejauh ini sudah banyak yang dibenahi. Misalnya, soal pengisian definisi jabatan tinggi.

"Saat ini tersisa sekitar sepuluh posisi yang kosong, dalam waktu dekat akan segera kami lakukan rekrutmen tahap dua," ucapnya terpisah dihubungi bakabar.com, Kamis (17/3).

Husairi mengakui memang hasil penilaian KPK itu tidak lepas dari apa yang sedang terjadi di lingkungan Pemkab HSU, terutama soal OTT.

Meski sejatinya ia kala itu menjabat sebagai Wakil Bupati, namun Husairi blak-blakan mengakui tidak mendapat kewenangan.

"Wabup hanya membantu bila Bupati memerlukan. Sebelumnya memang aku tidak ada kewenangan terkait rekrutmen kepegawaian hingga pengadaan," ujarnya.

Kendati sudah masuk daftar merah lembaga antirasuah, Husairi masih tetap optimis untuk berbenah.

Ia juga memberi kebebasan para pegawai untuk mengembangkan kreatifitas.

"Aku ingin pegawai bekerja dengan gembira dan senang, asalkan dengan catatan tugas pokok dikerjakan," pungkasnya.

Dilengkapi oleh Syahbani



Komentar
Banner
Banner