bakabar.com, JAKARTA – Pada perdagangan saham pekan ini, investor asing melakukan aksi beli bersih sebesar Rp4,96 triliun. Pembelian saham paling banyak dilakukan pada saham-saham blue chip.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Muhammad Nafan Aji Gusta memaparkan sejumlah alasan mengapa investor asing berburu saham blue chip.
Menurutnya, emiten blue chip dalam negeri, secara keseluruhan telah mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang positif sepanjang tahun 2022. Hal itu membuat sejumlah investor asing tertarik untuk mengoleksi. Mereka lalu menggelontorkan dananya pada emiten blue chip.
Bahkan harga saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) sempat menyentuh nilai tertingginya di 5.080 per lembar saham pada pekan lalu. Tercatat asing ramai-ramai melakukan pembelian bersih saham BBRI sebesar Rp1,55 triliun.
Baca Juga: Segera IPO, Multivision Plus Tawarkan Harga Rp225- Rp250 per Saham
“Faktor lain yang juga berkaitan adalah ketahanan fundamental ekonomi makro Indonesia yang cukup kuat,” ujarnya kepada bakabar.com, Selasa (18/4).
Saat ini, investor asing tengah melakukan strategi penyelamatan untuk melindungi dananya dari gejolak perekonomian global yang penuh ketidakpastian. Pelemahan ekonomi di negara maju telah mendorong dana asing mengalir ke pasar negara-ngara berkembang seperti Indonesia.
Indonesia kini menjadi negara yang paling banyak menerima modal asing, karena memilik ketahanan makro ekonomi yang lebih kuat dibandingkan negara berkembang lainnya. Bahkan, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dalam negeri bisa menyentuh 5 persen pada 2023.
“Masih lebih kokoh jika dibandingkan dengan negara berkembang lain seperti India yang diprediksi mengalami perlambatan ekonomi,” tuturnya.
Baca Juga: Grup Harita (NCKL) Resmi Melantai di Bursa, Saham Dibuka Stagnan
Bahkan investor merasa percaya diri bahwa ekonomi Indonesia dapat bertahan ditengah ketidakpastian, ketika sejumlah negara maju harus berjuang menghadapi krisis. Seperti halnya, Amerika Serikat yang mengalami krisis perbankan hingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara adidaya tersebut..
“Sedangkan Indonesia karena fundamental ekonominya masih kuat jadi mendukung kondisi keuangan domestik yang memadai, sehingga peningkatan capital inflow,” pungkasnya.