bakabar.com, BANJARMASIN – Polisi menetapkan Fatimah alias Sis Zahra sebagai tersangka. Meski, kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Banjarmasin itu telah tewas.
Fatimah wafat dalam insiden Camry terbakar di Senen, Jakarta, Selasa dini hari (8/2). Fatimah tewas terbakar bersama AKP Noviandi Arya putra Gubernur Kaltara, Zainal Paliwang. Jasad keduanya sulit dikenali.
Polisi berhasil mengidentifikasi jasad Novandi melalui odontongram atau data gigi. Sementara jasad Fatimah dikenali melalui cincin dan bekas luka operasi.
Lantas, apa alasan polisi menetapkan Fatimah yang sudah tewas menjadi tersangka?
“Penyidik menyimpulkan saudari F pengemudi, maka saudari F dijadikan tersangka kasus laka lantas tunggal,” ujar Direktur Lantas Polda Metro Jaya Kombes Sambodo Purnomo Yogo kepada wartawan di Pancoran, Jaksel, Rabu (9/2), dikutip bakabar.com dari Detik.
Oleh karenanya, polisi menilai Fatimah-lah yang menyebabkan AKP Noviandi tewas dalam kecelakaan itu.
“Maka saudari F jadi tersangka,” ujar Sambodo.
Sambodo mengungkap bukti Fatimah adalah pengemudi Camry. Salah satunya temuan sepatu perempuan di bawah jok pengemudi.
“Hasil olah TKP pemeriksaan barang bukti di Sedan ditemukan barang-barang milik wanita, sepatu wanita, tas wanita, semuanya berada di sisi kanan pengemudi,” tuturnya.
Lalu, bisakah seorang yang telah meninggal menjadi tersangka?
Akademikus Universitas Lambung Mangkurat, Daddy Fahmanadie bilang orang yang telah meninggal mestinya tidak lagi dijadikan tersangka.
“Karena tindak pidananya tidak akan bisa dipertanggungjawabkan,” ujar dosen Fakultas Hukum ini, dihubungi terpisah.
Apa maksud polisi menyematkan status tersangka kepada Fatimah? Daddy melihat itu hanyalah sekadar upaya polisi menggugurkan pertanggungjawaban pidana Fatimah.
“Sesuai Pasal 109 ayat (2) KUHAP jo Pasal 77 KUHP, proses penyidikan dan penuntutan sebuah perkara hanya bisa dilakukan kepada orang yang masih hidup,” ujar Daddy.
Mengingat Fatimah tewas dalam kecelakaan ini, maka sudah semestinya polisi menghentikan penyidikannya.
Advokat dari Borneo Law Firm, Muhammad Pazri sependapat dengan Daddy.
Sesuai Pasal 77 KUHP, Pazri bilang kewenangan menuntut pidana terhapus jika tertuduh meninggal dunia.
“Penetapan tersangka tersebut sangat aneh dan bertentangan dengan pengaturan dan prinsip hukum acara pidana,” ujar doktor jebolan Universitas Sultan Agung ini.
Menurutnya, semua aparat penegak hukum tentu paham bahwa perkara otomatis dihentikan jika tertuduh meninggal. Namun Pazri mafhum.
“Mungkin, penyidik tidak ingin surat penghentian penyidikan perkara (SP3) dikeluarkan mereka. Inginnya, penghentian penuntutan dari jaksa,” pungkas Pazri.
Sosok Kader PSI Banjarmasin yang Tewas bersama Putra Gubernur Kaltara, Sempat Bagi-Bagi Ricebox