bakabar.com, JAKARTA – Menggunakan sejumlah data temuan, pesawat Sriwijaya Air SJ182 diduga tidak mengalami ledakan sebelum membentur air laut di Kepulauan Seribu.
Sebelumnya pesawat dengan rute Jakarta-Pontianak tersebut diperkirakan meledak lebih dulu.
Hal itu sesuai keterangan sejumlah nelayan, karena mereka mendengar bunyi ledakan yang diiringi gelombang.
Namun analisis sementara yang dikeluarkan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Selasa (12/1), menjelaskan situasi berbeda.
“Menggunakan data awal, kami menduga bahwa mesin masih dalam kondisi, hidup sebelum pesawat membentur air,” papar Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono, seperti dilansir BBC.
Dalam data radar yang diberikan Airnav Indonesia, pesawat masih terekam mencapai ketinggian 10.900 kaki pukul 14.40 WIB.
Namun pukul 14.36 WIB, tercatat pesawat mulai turun hingga mencapai 250 kaki. Situasi ini mengindikasikan bahwa sistem pesawat masih berfungsi dan mampu mengirim data.
Data lapangan lain yang digunakan KNKT adalah sebaran serpihan pesawat. Tercatat besaran selebar 100 meter dan panjang 300 hingga 400 meter.
“Luas sebaran ini konsisten dengan dugaan bahwa pesawat tidak mengalami ledakan sebelum membentur air,” tutur Soerjanto.
Elemen ketiga yang menguatkan dugaan tersebut adalah temuan turbin. Terlihat satu bilah kipas mengalami kerusakan.
“Kerusakan fan blade menunjukkan bahwa kondisi mesin masih bekerja, ketika mengalami benturan,” beber Soerjanto.
“Hal itu sejalan dengan dugaan sistem pesawat masih berfungsi sampai pesawat turun hingga ketinggian 250 kaki,” imbuhnya.
KNKT sendiri memiliki waktu setahun untuk menuntaskan penyelidikan kecelakaan pesawat. Adapun tahapan proses penyelidikan dimulai dari persiapan, turun ke lapangan, pengumpulan data, analisis, dan membuat kesimpulan.
Mereka sekarang sudah berada di tahap kedua dengan data yang sudah dikantongi berupa rekaman pembicaraan antara pilot dengan petugas lalu lintas udara. Hal lain berupa puing-puing pesawat.
Seandainya black box telah ditemukan dan diangkat, proses selanjutnya adalah mengunggah informasi yang terekam di Flight Data Recorder (FDR) dan Voice Data Recorder (VDR).
“Kalau sudah lengkap semua data, terakhir menyesuaikan dengan black box. Untuk membaca informasi black box dan analisis, perlu waktu setahun,” tandas Soerjanto.