bakabar.com, BANJARMASIN – Belum lama tadi, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan menaikkan harga eceran tertinggi (HET) elpiji bersubsidi 3 kilogram.
Melalui Surat Keputusan Gubernur Kalsel Nomor 188.44/0385/KUM/2022, HET ‘gas melon’ di setiap pangkalan kini dipatok Rp 18.500. Ada kenaikan seribu rupiah dari harga sebelumnya.
Jauh sebelum ini, wacana kenaikan elpiji bersubsidi di tingkat nasional sudah lebih dulu mencuat. Tepatnya sejak awal April lalu.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves)Luhut BinsarPandjaitan berkata rencana kenaikan harga elpiji 3 kg akan dilakukan secara bertahap.
"Mengenai gas (elpiji) yang 3 kg itu kita bertahap. Jadi 1 April, nanti Juli, nanti bulan September, itu semua bertahap dilakukan oleh pemerintah,” tuturnya usai uji coba pengoperasian Light Rail Transit (LRT) di Stasiun Harjamukti, Cibubur, Jakarta Timur, 1 April lalu.
Senada dengan Luhut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah masih melakukan kajian terhadap harga elpiji ukuran tabung 3 kilogram.
Hal itu disampaikan Airlangga menjawab pertanyaan wartawan perihal rencana kenaikan Pertalite dan elpiji 3 kg seusai mengikuti sidang kabinet paripurna tentang antisipasi situasi dan perkembangan ekonomi dunia.
“Sekarang kita masih mengkaji. Setelah kita kaji, kita akan umumkan," ujarnya.
Ekonom dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof Handry Imansyah berpandangan harga elpiji 3 kg cepat atau lambat pasti akan naik.
Hal ini karena kenaikan harga energi dunia. Bila tarif gas melon tidak dinaikan, subsidi energi bakal membengkak.
"Yang jelas kenaikan harga akibat naiknya harga energi dunia tak terelakkan lagi," paparnya kepada bakabar.com, Sabtu (14/5).
Ia menilai dampak dari kenaikan harga elpiji 3 kg akan memberatkan golongan masyarakat kecil dan kelas bawah.
Imbasnya, angkat inflasi akan tambah naik. Dengan demikian, tingkat kemiskinan pasti juga meningkat.
"Jadi proses pemulihan menjadi tertekan akibat inflasi dari sisi supply. Apalagi, jika diikuti oleh kenaikan harga pertalite," ujarnya.
Belakangan terakhir, konsumsi elpiji 3 kg meningkat. Hal itu diakibatkan migrasi konsumen elpiji 5 kg dan 12 kg yang sudah naik lebih dulu.
Terlebih, kedua elpiji tersebut dipatok dengan harga tanpa subsidi.
"Jadi konsumen elpiji 5 kg dan 12 kg mungkin berpindah ke elpiji 3 kg akibat harganya naik drastis, sehingga pemerintah kedodoran karena meningkatnya permintaan gas bersubsidi," jelasnya.
Untuk melindungi kelompok miskin, pemerintah perlu melakukan pembatasan konsumsi elpiji bersubsidi. Seperti dikaitkan dengan penerima bantuan tunai keluarga prasejahtera atau keluarga miskin penerima bantuan iuran (PBI) BPJS.
"Misalnya para pembeli elpiji 3 kg harus menunjukkan kartu tersebut dan dibatasi untuk keluarga tersebut yang wajar (misalnya 3 tabung per bulan)," tutur Handry.
Menurutnya, administrasi mudah dengan memanfaatkan data base di awan atau cloud server.
Jadi, kelompok miskin akan terlindungi jika memang masih akan tetap dipertahankan subsidi untuk elpiji 3 kg tanpa menaikkan harga. Tapi, konsumsi elpiji 3 kg tidak meningkat akibat migrasi konsumen elpiji nonsubsidi.
Alhasil, bisa menghindari fenomena migrasi konsumen elpiji nonsubsidi. Sehingga subsidi tidak akan membengkak terlalu tinggi akibat peningkatan jumlah konsumen.
"Yang meningkat hanya karena selisih harga pasar dunia dengan harga subsidi. Karena yang dikhawatirkan adalah peningkatan jumlah konsumen akibat migrasi, sehingga pembengkakan subsidi tidak terlalu signifikan," pungkasnya.
Mengutip nota keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), subsidi energi elpiji 3 kg dianggarkan sebesar Rp66,3 triliun pada tahun 2022. Jumlah ini naik Rp16,4 triliun atau 32,87% dari outlook tahun 2021.
Dengan anggaran Rp66,3 triliun, artinya pemerintah memberi subsidi Rp 9.135 per kg untuk elpiji 3 kg.
Dengan asumsi harga pasar atau keekonomian sebesar Rp 15.500 per kg, dengan subsidi sudah diberikan sekitar Rp 9.135 per kg dan harga jual Rp 7.000 per kg, maka seharusnya masih ada selisih kelebihan subsidi sebesar Rp 635 per kg.