Kalteng

Aliansi Akademisi Desak Negara Segera Akui Masyarakat Adat Kinipan

apahabar.com, BANJARMASIN – Aliansi Akademisi mengecam kriminalisasi yang menimpa sejumlah warga adat di Desa Kinipan, Kecamatan…

Featured-Image
Masyarakat adat berdemo di Desa Kinipan, Kalimantan Tengah menolak konvesi hutan menjadi perkebunan sawit. Foto Facebook via BBC

bakabar.com, BANJARMASIN – Aliansi Akademisi mengecam kriminalisasi yang menimpa sejumlah warga adat di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Enam poin pernyataan sikap mereka keluarkan.

Pertama, mendesak pemerintah menjalankan kewajiban konstitusional memberi pengakuan penuh kepada masyarakat adat laman Kinipan.

“Negara harus mengubah cara pandang formalistik terhadap pengakuan masyarakat hukum adat. Sebab kendatipun belum ada pengakuan secara formal, tak berarti menghilangkan eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat,” ujar Herdiansyah Hamzah, salah seorang perwakilan akademisi, melalui keterangan tertulisnya kepada bakabar.com, Kamis (22/7).

Polisi Amankan Pria Bawa Parang Ngamuk di Masjid Al Karomah Martapura

Aliansi Akademisi juga mendesak panitia masyarakat hukum adat Kinipan-Pemkab Lamandau bekerja dengan integritas dan profesional mendukung percepatan proses identifikasi, verifikasi,validasi pengukuhan masyarakat adat setempat.

“Agar setiap tahapan dilakukan secara partisipatif, dengan melibatkan masyarakat adat secara penuh,” ujar akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman itu.

Selanjutnya, menghentikan segala bentuk intimidasi, politik 'adu domba' antar-masyarakat, maupun kriminalisasi terhadap masyarakat adat Kinipan yang memperjuangkan hak-hak tradisionalnya.

Keempat, menjamin terpenuhinya batas-batas wilayah yang menjadi hak masyarakat adat Kinipan. Termasuk, membatalkan segala bentuk perizinan yang mengganggu, melanggar, dan mengabaikan upaya pengakuan batas wilayah masyarakat adat Kinipan.

“Terakhir, pemerintah harus memberikan akses seluas-luasnya terhadap hak-hak adat yang melekat secara turun-temurun sebagai bentuk perlindungan, pengakuan dan pemenuhan terhadap hak-hak dasar dan hak asasi manusia pada masyarakat adat Kinipan,” ujar pria yang akrab disapa Castro itu.

Perjuangan masyarakat adat Kinipan dalam memperoleh pengakuan wilayah adatnya tidaklah mudah. Bahkan semakin sulit terlebih setelah masuknya sebuah perusahaan sawit.

Sejatinya, masyarakat adat Kinipan menolak keberadaan perusahaan tersebut. Namun pemerintah bergeming dengan tetap memberikan izin usaha dan hak atas tanah untuk beroperasi.

Perusahaan tersebut dilaporkan telah mengantongi surat keputusan Kementerian Lingkungan Hidup-Kehutanan tentang izin pelepasan hutan seluas 19.091 hektare. Mereka juga dizinkan melakukan kegiatan usaha di lahan seluas sekitar 9.435 hektare oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Berdasar data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah, sejak perusahaan itu beroperasi antara 2012 hingga 2020, luas wilayah adat masyarakat adat Kinipan yang dicaplok perusahaan mencapai 4.541, 12 hektare.

Di mana luasan tersebut didapat dari hasil pemetaan dengan mengunakan citra satelit dengan rincian seluas 2.625,18 hektare di antaranya sudah berupa Hak Guna Usaha (HGU), dan 1.857,57 hektare hutan adat sudah dibabat untuk pembukaan lahan.

Belakangan, izin usaha dan hak atas tanah perusahaan itu, yang diklaim masyarakat adat Kinipan, masuk ke dalam wilayah adatnya, memicu konflik.

Bahkan konflik ini berujung kepada tindakan kriminalisasi terhadap warga Kinipan. Tercatat 6 warga Kinipan ditangkap-ditahan oleh aparat kepolisian.

16 Agustus 2020, Riswan, warga adat Kinipan sekaligus kepala urusan pemerintahan desa Kinipan, ditangkap-ditahan aparat kepolisian, menyusul empat warga lainnya yang sebelumnya juga ditahan oleh aparat kepolisian Polda setempat.

26 Agustus 2020, Effendi Buhing selaku Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, ditangkap secara paksa oleh personel Polda setempat, dirumahnya di Desa Kinipan.

“Penangkapan-penahanan masyarakat adat Kinipan yang memperjuangkan wilayah adatnya, jelas merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak-hak tradisonal masyarakat hukum adat,” Aliansi Akademisi dalam siaran persnya.

Menurut mereka, selama ini pemanfaatan sumber daya alam, cenderung hanya dimonopoli pemerintah dan pemodal saja.

Sementara peran warga negara, khususnya masyarakat adat, tampak seperti dipinggirkan. Dalam putusan MK Nomor
122/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, MK memberikan penjelasan mengenai relasi kontrol antara pelaku usaha dan masyarakat.

MK berpandangan, "musyawarah yang dilakukan antara pelaku usaha perkebunan dengan masyarakat hukum adat dilakukan dengan posisi setara dan memberikan sepenuhnya hak masyarakat hukum
adat untuk menolak penyerahan jika tidak terdapat kesepakatan."

Artinya, pelaku usaha, meski mendapat lampu hijau melalui perizinan yang diberikan oleh pemerintah, tetapi warga tetap punya hak memberi atau tidak persetujuan mereka terhadap penyerahan tanahnya.

Negara dan pemodal seharusnya mengakui keberadaan masyarakat adat Kinipan beserta hak-hak tradisionalnya, kendati belum ada pengakuan secara formil sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Karena itu, upaya kriminalisasi terhadap masyarakat adat Kinipan yang menduduki tanah demi kepentingan adatnya, adalah pelanggaran atas hak tradisional.

“Pun demikian dengan belum adanya pengakuan formil masyarakat hukum adat dari Negara melalui pemerintah, tidak bisa dijadikan dasar bagi pemerintah dan pemodal untuk beroperasi di dalam wilayah adat.”

Menukil putusan MK Nomor 55/PUU-VIII/2010, sepanjang penelitian untuk memastikan keberadaan masyarakat adat dengan batas wilayahnya belum dilakukan, maka seharusnya pemerintah tak memberikan izin bagi para pemodal untuk beroperasi dalam wilayah yang diklaim oleh masyarakat adat sebagai wilayah adatnya.

Termasuk siapapun tidak memiliki dasar memadai melakukan upaya krimininalisasi terhadap masyarakat adat Kinipan yang berjuang mempertahankan wilayah adat mereka. (*)

=================================

Aliansi Akademisi untuk Kinipan terdiri dari 24 akademisi, dan 18 organisasi, seperti Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Center for Legal Pluralism Studies (CLeP) Fakultas Hukum Universitas, Airlangga, PUSaKO FH Unand, Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) FH Universitas Airlangga, Pusat Studi Agraria IPB University, Pusat Bantuan Hukum dan Anti-Korupsi Universitas Palangka Raya.

Kemudian, Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) FH Unmul, Taman Metajuridika FH Unram, Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak (PuSHPA) FH UNMUL, Pukat FH UGM, Pusat Pengambangan HAM dan Demokrasi (PPHD) Universitas Brawijaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH IKA) Universitas Tadulakom Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance (PARANG) Universitas Lambung Mangkurat, Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Pusat Pengembangan Hukum dan Gender (PPHG) FH Universitas Brawijaya, dan Lembaga Kajian Hukum-Korupsi (LuHaK FH UM Sumbar).



Komentar
Banner
Banner