Kematian Filep Karma

Aktivis Filep Karma Meninggal, Begini Sepak Terjangnya Perjuangkan Kemerdekaan Papua

Aktivis Kemerdekaan Papua, Filep Karma, meninggal dunia. Pria kelahiran 1959 itu bukan sembarang aktivis, melainkan sosok yang menuntut Papua merdeka.

Featured-Image
Filep Karma di penjara Abepura-Jayapura, tahun 2007. (Foto: Buku "Seakan Kitorang Setengah Binatang")

bakabar.com, JAKARTA - Aktivis Kemerdekaan Papua, Filep Karma, meninggal dunia. Jasadnya ditemukan di Pantai Bse G Jayapura sekira pukul 07.00 WIT, Selasa (1/11).

Dingin nan kaku tubuh Karma menandakan akhir perjuangannya untuk memerdekakan Papua. Ya, pria kelahiran 1959 itu bukanlah sembarang aktivis, melainkan sosok yang menuntut Bumi Cendrawasih berdaulat secara damai.

Tekad yang demikian, sayangnya, membuat Karma hidup dalam bayang-bayang militer Indonesia. Dia berkelana dari penjara ke penjara; merasakan dinginnya jeruji besi yang disertai penyiksaan, baik fisik maupun mental.

“Seorang petugas mengatakan pada saya, ‘Ketika kamu masuk sini (bui), kamu kehilangan semua hak kamu, termasuk hak asasi manusia. Hak kamu cuma bernafas dan makan.’ Dia bahkan bilang, ‘Hidup kamu ada di tangan saya’,” ujar Karma sewaktu dipenjara pada 2010 silam, dikutip dari BBC.

Baca Juga: Aktivis Papua Filep Karma Dikabarkan Meninggal Dunia di Pantai Jayapura

Berawal dari Rasialisme Papua

Perjuangan Karma untuk memerdekakan Papua, salah satunya, bermula dari rasialisme yang dia rasakan. Dirinya paham betul seberapa ‘rendah’ orang Papua di mata mereka yang bukan berasal dari Timur Indonesia.

“Selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari Papua, sering dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan kitorang evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia,” demikian kenang Karma, tatkala dirinya berkuliah di Universitas Sebelas Maret, dalam buku Seakan Kitorang Setengah Binatang (2014).

Sepulang kuliah dari Jawa, ketika bekerja jadi pegawai negeri di Papua, Karma mengeklaim masih menemukan perlakuan diskriminasi rasial dari aparat pemerintah Indonesia maupun orang non-Papua, yang merantau ke Bumi Cendrawasih untuk mencari kerja.

“Kemudian terjadi perampasan hak-hak orang Papua, antara lain tanah, posisi di pemerintahan, ataupun perusahaan-perusahaan swasta,” ungkapnya.

Baca Juga: Nelayan di Pantai Jayapura Temukan Jasad Aktivis Filep Karma

Suasana tersebut, ujar Karma, sangat berbeda ketika dirinya mengenyam pendidikan di Asian Institute of Management, Manila, Filipina. Tak ada diskriminasi terhadap orang Papua; malahan, hak asasi manusia sangat dihormati.

Di negeri tetangga itu pula, Karma menemui kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berbicara, dan penghargaan terhadap pendapat yang dia kemukakan. Bapak beranak dua ini lantas semakin mantap untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua tanpa memanggul bedil.

Berkelana dari Penjara ke Penjara

Perjuangan “damai” ala Filep Karma pertama kali terjadi pada 1998, ketika Presiden Soeharto lengser dari jabatannya. Kala itu, seratus delegasi Papua mendatangi BJ Habibie – pengganti Soeharto – untuk meminta izin mengadakan referendum di Papua.

Permintaan itu langsung ditolak. Tak putus asa, Karma menginisiasi sebuah “aksi damai” di Biak pada Juli 1998. Dia beserta demonstran lainnya mengibarkan Bintang Kejora di Tower Air Biak.

Baca Juga: Polisi Masih Menunggu Hasil Otopsi Jenazah Filep Karma

Akibatnya, Karma ditahan. Pengadilan Negeri Biak lantas menyatakan bahwa pria berjanggut itu bersalah dengan tuduhan makar. Dia pun dijatuhi hukuman penjara 6,5 tahun. 

Karma dipenjara di Biak, lalu belakangan dipindah ke penjara Abepura. Dia bebas “demi hukum” pada 20 November 1999, lantas kembali bekerja sebagai pegawai negeri untuk pemerintahan Provinsi Papua.

Seolah tak kapok, Karma kembali melakukan hal serupa pada 1 Desember 2004. Selepas program otonomi Papua disabot militer dan intelijen Indonesia, dia mengorganisir sebuah upacara peringatan, yang juga dihiasi pengibaran Bintang Kejora.

Lagi-lagi, Karma ditahan. Kali ini, dia dijatuhi hukuman yang lebih berat: vonis 15 tahun penjara dengan tuduhan makar. Namun, dia dibebaskan lebih cepat, tepatnya pada 19 November 2015, sudah diperbolehkan menghirup udara segar.

Bebasnya sang aktivis lantas disambut riuh ratusan pendukung. Mereka serempak berteriak, “Papua Merdeka!” Kala itu, Karma masih bertekad memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai.

“Papua belum merdeka, berarti perjuangan saya belum selesai. Saya akan terus berjuang sampai Papua merdeka,” katanya. Namun, kini, tubuh sang aktivis sudah terkujur kaku. Semangat untuk memerdekakan Papua pun belum kesampaian.

Editor
Komentar
Banner
Banner