News

Aktivis: Eksil Politik Butuh Pelurusan Sejarah

Presiden Jokowi mengutus menteri ke Eropa Timur untuk menemui para pelanggar HAM berat masa lalu dan juga eksil politik korban peristiwa G30S/PKI

Featured-Image
Film Propaganda Penumpasan G30S/PKI yang mendulang kontroversi karena dianggap membelokkan sejarah. Foto: Wikipedia

bakabar.com, JAKARTA - Presiden Jokowi mengutus menteri ke Eropa Timur untuk menemui para pelanggar HAM berat masa lalu dan juga eksil politik korban peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau yang lebih kita kenal sebagai G30S/PKI. 

Berdasar pernyataannya, ia menerangkan jika warga eksil politik memiliki hak sebagai warga negara. Mahfud MD Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan adalah salah satu yang diutus Jokowi ke Eropa Timur untuk menjemput para eksil. 

Tindakan Jokowi terlihat manis dan bersahaja, namun tidak dengan pandangan aktivis HAM, Bivitri Susanti. Akademisi hukum itu menjelaskan jika penjemputan eksil politik saja tidak cukup.

Perlu ada upaya lebih untuk menjamin hak hidup mereka. Pengakuan Presiden juga dinilai belum menunjukkan upaya yang cukup serius untuk menuntaskan kejahatan HAM berat masa lalu. 

Baca Juga: Di Depan Ratusan Kepala Daerah, Jokowi Singgung Kebebasan Beragama: Dijamin Konstitusi!

“Karena kita harus membicarakan pengadilan yang tidak pernah terjadi sampai sekarang, padahal kalau Jokowi mau, dia kan kepala pemerintahan ya, ya diperintahkan aja jaksanya itu bahwa kita butuh pengadilan yang jelas, tapi kan belum pernah dilakukan, jadi menurut saya sih belum apa-apa,” ungkap Bivitri, Jumat, (20/01). 

Menurutnya apa yang dilakukan Jokowi tidak memenuhi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia juga menengarai jika penugasan menteri ke eropa timur tidak memiliki tujuan yang jelas. 

“Menurut saya tidak jelas ya, karena eksil politik udah banyak sekali, banyak sekali yang sudah tua, banyak juga yang sudah meninggal, dan bagi mereka bukan soal pulangnya aja, karena mereka bisa pulang sendiri,” kata dia. 

Pengungkapan kebenaran justru hal yang paling esensial jika berhadapan dengan eksil politik. “Menurut saya (pemerintah) harus jelaskan dulu ke publik, sebenarnya mau ngapain ke Jerman, kalau mau menjamin, apa yang mau dijamin?” imbuh dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu. 

“Yang mereka butuhkan kan sebenernya mereka itu gak perlu jadi eksil, karena apa yang mereka alami itu gila ya, sadis sebenernya,” tuturnya. 

Menurutnya, pelurusan sejarah tentang apa yang terjadi pada tragedi kemanusiaan semacam G30S/PKI-lah yang lebih dibutuhkan untuk para eksil. Dengan melibatkan institusi negara lainnya seperti pendidikan.

Editor


Komentar
Banner
Banner