bakabar.com, JAKARTA - Tanggal 2 Desember diperingati sebagai Hari Penghapusan Perbudakan Internasional. Penetapan momentum ini berlandaskan Konvensi PBB soal Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi Lainnya.
Peringatan International Day for the Abolition of Slavery, begitu nama lainnya, diresmikan per 1985. Kendati begitu, upaya untuk menghapuskan perbudakan sejatinya sudah bergulir sejak lama.
Di Amerika Serikat, misalnya, perbudakan resmi ditiadakan per 18 Desember 1865, usai Negeri Paman Sam meratifikasi undang-undang baru pada amandmen ke-13. Beleid itu menyatakan, “Segala macam bentuk perbudakan tak boleh ada di bumi Amerika Serikat, atau di mana pun yang tunduk kepada yurisdiksi AS.”
Peraturan yang demikian tentu tak serta merta diterima semua pihak, bahkan sempat menyulut perang sipil. Negeri adidaya itu agaknya tak rela bila harus melepas praktik perbudakan, yang notabene berhasil menggerakkan roda perekonomian sedari ratusan tahun lamanya.
Ya, perbudakan memanglah bukan barang baru di AS; praktik ini bermula pada Agustus 1619, ketika kapal swasta asal Inggris memboyong lebih dari 20 budak Afrika ke pelabuhan Virginia. Malahan, menjadi kelaziman, khususnya setelah perkebunan dan koloni baru dibuka.
Manuver Politik Abraham Lincoln
Sejumlah pihak terus melakukan beragam upaya untuk menghentikan perbudakan. Titik balik perlawanan atas perbudakan pun terjadi pada Perang Saudara, yang pecah antara 1861 sampai 1865.
Konflik tersebut melibatkan dua kubu: Utara (Union) dan Selatan (Konfederasi). Pemimpin kubu Utara, Abraham Lincoln, bersikukuh menentang perbudakan dengan berbagai dalih: membantu memenangkan Perang Saudara, mempersulit perekonomian Konfederasi, serta menarik simpati dari pihak luar.
Benar saja, keinginan tersebut kian menguat usai masyarakat Afrika-Amerika dan kulit putih di Utara sepakat menentang sistem perbudakan di Selatan. Keputusan ini diambil berlandaskan atas dasar moral.
Kendati begitu, tak dapat dipungkiri, masih ada sejumlah pihak yang menentang penghapusan perbudakan. Mereka menginginkan adanya pengecualian aturan di beberapa negara bagian, khususnya Amerika Barat dan Selatan.
Lincoln sangat membenci perbudakan. Namun, sebagai kepala negara yang resmi terpilih pada November 1860, dia tetap menanggapi pihak yang kontra terhadap gerakan tersebut. Tentunya, dengan berhati-hati.
Alhasil, pada 1 Januari 1863, Presiden ke-16 AS itu meneken aturan tentang pembebasan budak di daerah kekuasaan Konfederasi. Tentara Union yang menguasai daerah Utara pun akan membebaskan mereka, sekaligus menjadikannya serdadu – selagi memenuhi kualifikasi.
Selang dua tahun kemudian, Lincoln benar-benar mempekerjakan mantan budak itu sebagai tentara. Dia lantas mendeklarasikan Proklamasi Emansipasi untuk semua negara yang masih dalam pemberontakan.