bakabar.com, BANJARMASIN – Aku ingin berterima kasih, karena telah menjadi pernah yang menyenangkan, meski akhirnya menyakitkan.
Aku ingin berterima kasih, karena telah menjadi ada dalam rencana kita di suatu saat, meski akhirnya menjadi sesaat. Aku ingin berterima kasih, karena telah menjadi hampir yang hadir dan mampir, meski akhirnya di tengah jalan, cinta harus berakhir.
Puisi di atas diambil dari judul "Semalam Bersama Kenangan" dari buku “Aku Ingin Lahir dari Rahim Puisimu” karya perdana Ikhlas El Qasr, pria kelahiran Kabupaten Banjar yang sekarang menetap di Angsana, Tanah Bumbu.
Buku yang menjadi reportoar awal Ikhlas dalam dunia kepenyairan itu dibedah melalui daring dengan suasana yang santai pada Sabtu (6/7) malam.
Pembedahnya adalah Nailiya Nikmah yang dikenal sebagai penulis puisi, esai, dan cerpen yang saat ini menjadi dosen di Politeknik Negeri Banjarmasin.
Acara yang dimoderatori oleh Puja Mandela diikuti cukup banyak peserta, di antaranya adalah M Johansyah (Tanah Bumbu), Dewi Alfianti (Banjarmasin) dan Yose S. Beal (Malang). Sejumlah peserta lainnya juga ada yang berasal dari NTT dan Sumatera Utara.
Menurut Nailiya Nikmah, puisi berjudul Semalam Bersama Kenangan adalah jantung sekaligus puisi favoritnya di buku itu. Ia menilai puisi itu menyimpan seluruh rahasia, perjalanan hati, dan gambaran fluktuatif perasaan penulis yang menyeluruh.
“Secara psikologis memang seperti ada yang disembunyikan. Tapi memang puisi adalah tempat paling aman untuk menyimpan rahasia,” ucapnya.
Nailiya Nikmah membedah buku dengan sangat detil. Tak hanya melihat makna-makna yang tersembunyi di dalam puisi, ia juga sampai memperhatikan titimangsa dan sisi psikologis penulis.
Penulis buku “Entah Bagaimana Tetiba Aku Mencintaimu” nampak berusaha masuk cukup dalam pada puisi-puisi itu.
Menurut Nailiya, dalam memahami suatu karya, para pembaca tidak akan pernah bisa mengabaikan sang pengarang. Misalnya, siapa dia, apa profesinya, apa pandangan hidupnya, bagaimana masa kecilnya, buku apa yang dia baca, di masa apa dia hidup, siapa yang membuat ia jatuh setengah mati, siapa yang membuat ia bangkit beribu kali.
“Semua itu sedikit banyak akan memengaruhi karyanya. Termasuk kata-kata atau diksi apa yang paling menghantuinya,” katanya.
Nailiya pun mengapresiasi Ikhlas sebagai penulis puisi yang memiliki karakter. Hal itu menjadi modal penting yang harus dimiliki para penulis.
“Saya melihat ada diksi-diksi yang menjadi karakter dalam puisi-puisi di buku ini. Ketika saya sudah akrab, saya akan mudah mengenali, misalnya, oh ini puisi Sapardi, Micky Hidayat, atau Agus Suseno,” kata Nailiya.
Tadi malam, Ikhlas El Qasr nampak gugup. Meski begitu, dia bisa memberikan tanggapan dan pertanyaan-pertanyaan dari peserta dengan cukup jelas.
Ia mengungkapkan bahwa puisi berjudul “Aku Ingin Lahir dari Rahim Puisimu” menjadi inti dari semua puisi yang ada di buku itu. Puisi itu ia dedikasikan kepada ibunya, yang sudah lama pergi meninggalkannya.
Ia kemudian menceritakan karya perdananya ini lahir setelah dia berhasil menjadi juara di event yang diselenggarakan oleh Kompasiana.
“Hadiahnya uang dan menerbitkan karya secara gratis. Berangkat dari itu buku ini bisa dirilis,” kata Ikhlas.
Salah satu penyair Tanah Bumbu, M Johansyah, ikut mengapresiasi terbitnya karya perdana Ikhlas El Qasr. Ia mengatakan puisi yang bagus harus melalui banyak renungan, peristiwa, atau gesekan-gesekan kehidupan yang dialami penulisnya.
Karenanya, dia mendorong para penulis-penulis baru untuk selalu menguji karyanya dengan mengikuti event, semisal antologi puisi Aruh Sastra Kalsel.
Johansyah memandang puisi sebagai sesuatu yang sakral. Sebab ia memposisikan puisi seakan-akan hidup abadi. “Karena umur kita lebih pendek dari usia puisi kita,” katanya.
Arif Rahman yang pernah menjadi guru Ikhlas El Qasr saat di Madrasah Aliyah Darul Azhar mengungkapkan saat di sekolah, muridnya itu dikenal sebagai sosok pendiam. Ia bahkan tak menyangka jika Ikhlas bisa menerbitkan karya yang bagus.
“Saya benar-benar tidak menyangka. Dulu di sekolah dia pendiam. Tapi di balik itu ternyata ada potensi yang luar biasa. Sekali lagi selamat!” kata Arif.
Puisi-puisi Ikhlas El Qasr juga mendapat tanggapan dari Tato A. Setyawan, salah satu pegiat seni dan sastra di Tanah Bumbu. Tato mengakui materi puisi Ikhlas memang kuat.
“Asal fokus dan konsisten di jalurnya saat ini, dia bakal jadi penyair yang punya prospek bagus,” katanya.
Bedah buku yang berlangsung selama dua jam diakhiri dengan dengan pembacaan puisi karya Ikhlas lainnya yang berjudul “Pada Setangkup Malam”. Puisi itu dibacakan dengan penuh perasaan oleh Nailiya Nikmah.
Editor: Fariz Fadillah