bakabar.com, BALIKPAPAN – Polisi berhasil menggagalkan peredaran obat keras terlarang yakni double L di Balikpapan. Sebanyak 8.000 butir double L berhasil diamankan saat tiba di Balikpapan melalui jasa pengiriman.
Bermula saat polisi mendapatkan informasi dari Loka POM Balikpapan dan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Samarinda, terkait adanya pengiriman obat keras jenis Double L ke Balikpapan lewat jasa pengiriman. Polisi pun langsung melakukan penyelidikan dengan mendatangi tempat jasa pengiriman di Jalan Mayjen Sutoyo, Klandasan Ilir, Balikpapan Kota.
“Sampai di lokasi, tim melakukan pemeriksaan dan membuka paket yang dicurigai. Benar ditemukan barang bukti berupa obat keras jenis dobel L sebanyak 8.000 butir,” kata Waka Polresta Balikpapan, AKBP Sebpril Sesa.
Polisi pun bergerak menuju alamat pemilik paket yakni Jalan Handil Sulawesi, Kelurahan Teritip, Balikpapan Timur (Baltim) pada Minggu (27/6). Seorang pemuda berinisial JS (27) pun diringkus di rumahnya. Di dalam rumah pelaku ditemukan barang bukti lainnya yakni 87 butir dobel L yang disimpan di dalam 21 kantong plastik.
“Jadi total barang bukti ada 8.087 butir. Barang bukti lainnya ada satu bundel plastik klip bening, satu buah buku tabungan bank BRI Simpedes, satu buah Kartu ATM bank BRI dan satu buah handphone,” tuturnya.
Hasil interogasi pelaku, bahwa sudah kelima kalinya ia memesan obat keras terlarang ini melalui jasa pengiriman. Rencananya double L tersebut akan diedarkan di wilayah Balikpapan.
“Dijual oleh pelaku dengan harga Rp 10 ribu per tiga butir. Sasarannya para remaja khususnya pelajar,” sebutnya.
Sepbril pun mengimbau kepada masyarakat terutama para orang tua agar lebih meningkatkan kewaspadaannya terhadap aktivitas anaknya. Sebab sasaran pelaku dalam mengedarkan double L ini ialah para pelajar.
“Sasaran peredaran Double L ini pelajar. Bahkan kita pernah lakukan penangkapan di depan sekolah. Mungkin karena harganya murah jadi bisa dijangkau,” pungkasnya.
Pelaku pun dijerat Pasal 197 UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan dengan ancaman paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000.