Opini

25 Tahun Reformasi Menggugat Kepemimpinan Manipulatif Model Jokowi

Reformasi akan berulang tahun lagi. Dua puluh satu Mei, dua puluh lima tahun lalu, arus deras harapan perubahan menyapu seantero negeri.

Featured-Image
Presiden Jokowi mengadiri acara Musra yang digelar di Istora Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (14/5). apahabar.com/Andrey

Reformasi akan berulang tahun lagi. Dua puluh satu Mei, dua puluh lima tahun lalu, arus deras harapan perubahan menyapu seantero negeri.

Oleh Denny Indrayana

SEPEREMPAT abad berlalu, jerih-payah-darah reformasi tidak membawa hasil berarti. Tahun-tahun terakhir, reformasi bahkan telah mati-suri. Orde Baru yang otoriter dan koruptif bersalin rupa, dilahirkan kembali, bereinkarnasi.

Tuntutan reformasi ada tiga substansi kunci: amandemen konstitusi, berantas korupsi, dan hapuskan dwifungsi ABRI. Di era Presiden Jokowi, ketiga-tiga tuntutan itu dikhianati. 

Konstitusi tidak lagi berarti, apatah lagi dihormati. KKN, korupsi, kolusi, nepotisme menjadi pandemi, seakan tanpa vaksinasi. Nepotisme mengemuka lewat bisnis keluarga yang berkolusi dengan anak oligarki. Masih ingatkah anda dengan laporan dugaan korupsi ke KPK oleh Ubedilah Badrun atas anak-anak Jokowi? Tak ada sedikitpun kabar bagaimana kelanjutannya kini. 

Melalui pemilihan kepala daerah, anak dan menantu menjabat melalui pilihan rakyat, apakah itu demokrasi atau patgulipat manipulasi. Dwifungsi ABRI bersalin wajah menjadi multifungsi Polri. Para jenderal polisi tidak hanya menjadi menteri, tetapi masuk menguasai intelijen, jalur logistik pangan, sempat di PSSI, bahkan tingkat sekjen dan dirjen pun dimonopoli.

Dua puluh lima tahun setelah kelahirannya, reformasi mati-suri dan dikorupsi dengan kepemimpinan manipulatif ala Jokowi.

Saya punya perhatian lebih pada dua kata kunci: Konstitusi dan Korupsi. Di 2014, dengan menilai berdasarkan dua kata kunci itu, saya kena prank mencoblos Capres Jokowi. Dalam perjalanannya, menurut penilaian saya, pada dua aspirasi inti itulah, Jokowi memanipulasi diksi dan ingkar janji.

JOKOWI: PRESIDEN TANPA PEMAHAMAN KONSTITUSI

Inti konstitusi adalah limitasi dan hak asasi. Pembatasan atas kekuasaan (limitation of power) yang terus menggoda tanpa henti. Penghormatan atas manusia tanpa diskriminasi, tanpa kriminalisasi.

Faktanya, penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan terus menggoda Presiden Jokowi. Atas nama IKN, proyek untuk oligarki yang dibungkus seolah-olah bakti bagi negeri, periode ketiga kepresidenan pun dijajaki. Tentu saja skenario yang melecehkan konstitusi itu tidak mendapat dukungan Megawati, tetapi bukan berarti tidak mungkin dimunculkan kembali.

Pada 2019, jauh sebelum lokasi IKN dieksekusi, bahkan sebelum drama sidang pilpres di Mahkamah Konstitusi selesai dimanipulasi, seorang pengusaha kerabat teramat dekat Calon Presiden tersenyum sumringah penuh arti. Bahagia penuh suka-cita, ditepuknya paha sang Daeng Sulawesi.

“Uang saya akan kembali. Di tambah keuntungan tak berseri.”

“Memangnya, apa yang terjadi?”

“Tenang, Jokowi akan membuat Ibu Kota Negeri, di atas tanah kami.”

Dengan investigasi, proses legislasi akan mudah diidentifikasi sebagai modus dedikasi untuk keuntungan bisnis segelintir oligarki. Perubahan kilat UU Minerba, memberikan perpanjangan lisensi tambang, tanpa evaluasi, tanpa membayar royalti. Perubahan cepat UU KPK, memberikan proteksi bagi aksi korupsi, khususnya bagi kawan koalisi, tapi bukan bagi lawan oposisi. 

Patut diduga, pembuatan secepat-kilat UU IKN bukan semata untuk penyebaran keadilan pembangunan negeri, tapi adalah bagian pengembalian dana kompensasi yang dikeluarkan oligarki selama masa kampanye calon presiden berkompetisi.

Setali tiga uang, Perppu dan UU Ciptaker, bukan semata reformasi aturan investasi, tapi wujud kebijakan yang lebih berpihak pada sektor privasi, ketimbang ekonomi buruh dan rakyat kecil yang makin teralienasi.

Seleksi pimpinan BPK menabrak undang-undang, Presiden diam, tak ada daya-upaya menyelamatkan konstitusi. Penarikan semena-mena Hakim Aswanto, merusak independensi Mahkamah Konstitusi, Presiden bergeming tetap berdiam diri. Bahkan bersyukur dapat memasukkan dan menambah kaki tangan, menambah pasukan, dan komposisi pendukung sang adik ipar Anwar Usman agar menjadi Ketua MK lagi.

Pergerakan penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan presiden disuarakan barisan relawan hingga jajaran menteri, Jokowi berkilah itu adalah kebebasan berdemokrasi. Penerbitan Perppu Ciptaker menabrak batas waktu masa sidang DPR, Presiden Jokowi tetap hening, pura-pura tidak mengerti. Padahal Jokowi nyata-nyata memanipulasi, tidak menjaga wibawa konstitusi, yang lagi-lagi dikebiri.

Terakhir, cawe-cawe Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024, nyata-nyata menabrak harkat-martabat konstitusi. Benar, panitia penyelenggara pemilu adalah KPU bersama Bawaslu dan DKPP. Namun bukan berarti Presiden sebagai Kepala Negara bisa merdeka melepas tanggung jawabnya. Rekan kerja utama KPU adalah Mendagri, anggota kabinet, bawahan Presiden. Dalam semua pemilu, seluruh aparatur negara TNI, Polri, BIN harus netral, tentu demikian pula halnya Presiden, sang Panglima Tertinggi.

Bukti cawe-cawe Jokowi yang paling nyata bukan pada pertemuan dengan Ketum parpol koalisi di Istana, tetapi lobi di ruang-ruang tertutup yang mengintervensi kedaulatan parpol untuk menentukan paslon capres-cawapres dan ikatan koalisi.

Lagi-lagi saya wajib membawa ke ruang terang-benderang, dugaan pencopetan Partai Demokrat yang dilakukan Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan Presiden Jokowi. Tidak boleh dikilahkan bahwa itu urusan Moeldoko pribadi. Presiden tidak bisa membiarkan anak-buahnya mencuri dan merusak kedaulatan partai. Pembiaran Jokowi adalah bentuk persetujuan, dalam manipulasi diam sekalipun. 

Jasmerah: jangan sekali-kali meninggalkan sejarah lantang diteriakkan Soekarno. Mestinya, jika mengingat sejarah pahit PDI Megawati, yang dikuyo-kuyo Orde Baru oleh PDI Soerjadi, Megawati Soekarnoputri pun tidak akan tenang melihat petugas partainya Jokowi, yang terus konsisten mengobrak-abrik independensi partai.

Dugaan pencopetan melalui modus Peninjauan Kembali oleh kubu Moeldoko di MA, atas kepengurusan sah Partai Demokrat AHY, mestinya tidak akan terjadi, tanpa restu dari Jokowi. Tidak terbantahkan, langkah itu dibiarkan Presiden bukan hanya untuk mengganggu partai oposisi, setelah berhasil memecah-belah PKS, tetapi ujungnya juga berpotensi membatalkan tiket pencapresan Anies Baswedan menuju kontestasi Pilpres 2024.

Pengganjalan main belakang ala Jokowi, yang bersembunyi di balik punggung Moeldoko, adalah nyata-nyata upaya menghilangkan hak konstitusional Partai Demokrat untuk mengusulkan calon presiden, dan karenanya adalah lagi-lagi manipulasi dan pelanggaran konstitusi.

Setiap pelanggaran konstitusi, menurut UU Pemilu masuk klasifikasi pengkhianatan terhadap negara, dan karenanya layak menjadi dasar pemecatan presiden.

Ingatkah kita sejarah kasus Watergate? Presiden Richard Nixon akhirnya terpaksa mengundurkan diri, karena skandal Watergate yang berkaitan erat dengan kedaulatan Partai Demokrat Amerika Serikat. Jika saja politik dan hukum kita sedang berakal sehat, mengedepankan moralitas dan integritas, maka banyak pintu masuk pemakzulan Presiden Jokowi, tidak terkecuali pencopetan Partai Demokrat oleh Moeldoko, yang logisnya tentu saja melibatkan tingkah-polah diamnya Sang Presiden.

Di era Presiden Jokowi, dua puluh lima tahun setelah reformasi, konstitusi dimanipulasi hanya menjadi kumpulan halaman tanpa pemahaman, tanpa penghormatan, tanpa eksekusi, kecuali sesuai selera hati.

JOKOWI: PRESIDEN TANPA VISI ANTIKORUPSI

Ketika terbuai halusinasi dan menjatuhkan pilihan pada Capres Jokowi di 2014, salah satu parameter saya adalah semangat antikorupsi. Dalam realitasnya, Presiden Jokowi tidak menepati janji. Jangankan menguatkan KPK, yang ada UU KPK dilucuti, dan para pejuang antikorupsi KPK diterminasi.

Presiden Jokowi berkilah, perubahan UU KPK adalah inisiatif DPR. Itulah model kepemimpinan manipulatif ala Jokowi. Melempar beban kesalahan kepada orang lain. Model kepempinan tanpa tanggung jawab. Padahal, proses legislasi Indonesia jelas-jelas melibatkan Presiden, DPR, dan sedikit peran DPD. Tanpa persetujuan bersama Presiden dan DPR, suatu RUU tidak akan pernah mungkin menjadi UU.

Kekuatan legislasi Presiden Indonesia bahkan jauh lebih powerful dibandingkan dengan Presiden Amerika Serikat sekalipun. Jika hak veto Presiden AS bisa diveto balik oleh kamar parlemen, maka tanpa persetujuan Presiden Indonesia, suatu RUU tidak akan pernah bisa menjadi UU, kendatipun telah disepakati berdua oleh DPR bersama-sama dengan DPD.

Jelasnya, Presiden Jokowi adalah penanggung jawab utama perubahan UU KPK. Bukan saja beliau bisa menolak untuk membahas apalagi menyetujuinya, presiden sebagai pemimpin koalisi pemerintahan yang menguasai mayoritas mutlak kursi di DPR, bisa dengan mudah mengontrol arah politik legislasi antikorupsi. 

Perubahan UU Minerba, UU Ciptaker, UU IKN bisa diselesaikan secepat-kilat sesuai mau Jokowi, meskipun tanpa sosialisasi, demi untuk kepentingan kongsi bisnis dan koalisi oligarki. Jadi, perubahan UU KPK yang membunuh KPK harus dipandang sebagai kontribusi nyata Presiden Jokowi untuk korupsi yang makin lepas kendali.

Lebih dari itu, bukan hanya melemahkan dasar hukum kerja KPK, Presiden Jokowi juga bertanggung jawab atas minusnya etika Pimpinan KPK periode terkini. Institusional KPK yang kehilangan independensi masih mungkin punya nafas kehidupan, jika personal komisionernya masih punya integritas moral. 

Namun, hasil seleksi tim Presiden Jokowi, didukung dengan aspirasi koruptif koalisi di DPR, melahirkan pimpinan KPK tanpa etika.  Pejuang-pejuang utama antikorupsi KPK —disimbolisasi melalui Novel Baswedan yang telah berkorban mata— disingkirkan lewat permainan TWK yang keji.

Maka, dalam pengawasan dan tanggung jawab Presiden Jokowi, paripurnalah kerusakan KPK, secara institusi kehilangan independensi, secara pribadi-pribadi kehilangan harga diri, kehilangan integrity.

Jasmerah: jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah teriak lantang Bung Karno. Maka, jika sejarah republik mencatat Megawati Soekarnoputri yang melahirkan UU KPK, sebagai salah satu buah manis reformasi, sejarah telah pula mencatat, bahwa KPK dimati-surikan dan reformasi telah pula dikorupsi oleh Petugas Partai bernama Jokowi.

JOKOWI: PRESIDEN FESTIVALISASI TANPA INTELEKTUALISASI

Dalam satu rekaman video, Gita Wirjawan mengingatkan demokrasi sedang dibawah ancaman kepemimpinan pencitraan yang kaya festivalisasi dan sensasionalisasi, tapi miskin intelektualisasi.

Kelebihan Presiden Jokowi adalah kemampuannya membangun citra merakyat. Beliau memang tipe pekerja keras, namun dengan surplus pencitraan sensasional, tapi minus substansial.

Model pencitraan masuk ke dalam gorong-gorong Jakarta, adalah betul-betul gaya kepemimpinan manipulatif Jokowi. Kepemimpinan manipulasi, penuh sensasi tapi kosong substansi. Sejalur dengan citra memanggil para perwira tinggi Polri ke Istana, lalu melarang pola hidup mewah, tanpa menyentuh akar masalah bisnis beking dan tambang ilegal para pati yang berujung pada mega-korupsi.

Sejalan pula dengan citra blusukan ke jalan rusak di Lampung, tanpa menelisik serius ke mana anggaran jalan provinsi ditilep dan dikorupsi. Baru di era ini republik mencatat dengan tinta pilu, ada presiden bahkan setelah menjabat, masih aktif merawat dan semangat hadir dalam berbagai acara relawan. Padahal relawan seharusnya hanya ada pada masa kompetisi pilpres, dan wajib bubar setelah era kontestasi selesai. 

Jika mengedepankan substansi dan intelektualisasi, Presiden Jokowi harusnya membangun rekonsiliasi, bukan hanya semata di level elit dengan berbagi proyek dan memasukkan Prabowo-Sandi ke dalam kabinet, tetapi lebih jauh merajut integrasi yang hakiki di antara seluruh elemen anak negeri.

Inilah model kepemimpinan manipulatif yang ditopang dana jumbo untuk humas termasuk buzzerRp, melalui relawan yang memperlebar disintegrasi di antara sesama anak negeri. Hasilnya bisa saja lulus melalui angka manipulasi approval rating yang tinggi, tapi pasti gagal total dilihat dari penghormatan konstitusi, pemberantasan korupsi, dan konsistensi melunasi amanat Reformasi.

Dua puluh lima tahun setelah kelahirannya, reformasi hanya menjadi manipulasi pencitraan Jokowi yang sarat festivalisasi dan sensasionalisasi, tanpa intelektualisasi. Di mana, konstitusi tidak lagi punya arti, KPK telah mati-suri, dan reformasi telah pula dikhianati Jokowi, anak kandung yang sejatinya lahir dari rahim Reformasi itu sendiri.

Jadi, berhentilah meneruskan legasi koruptif-manipulatif ala kepemimpinan Jokowi. Ayo selamatkan Reformasi! Di 2024, rebut kembali daulat rakyat (DEMOkrasi) dari penjajahan daulat duit (DUITokrasi). Mari bangun kepemimpinan dan kesadaran kerakyatan yang penuh substansi dan intelektualisasi, yang berlandaskan pada penghormatan Indonesia terhadap konstitusi dan moralitas antikorupsi. (*)

Penulis adalah Guru Besar Hukum Tata Negara

Senior Partner INTEGRITY Law

===

Catatan redaksi: Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis. Tidak mewakili pandangan redaksi bakabar.com

Editor


Komentar
Banner
Banner