bakabar.com, BANJARBARU – Muhammad Pazri meragukan kesahihan dukungan yang diberikan Pemkab Balangan dan Banjar atas rencana pemindahan ibu kota Kalimantan Selatan ke Banjarbaru.
“Surat dukungan baru saja dibuat, setelah Undang-Undang disahkan,” ujar kuasa hukum pemohon judicial review UU Provinsi Kalsel itu, Rabu (3/8) petang.
Harusnya, Pazri melihat, tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan melalui perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
“Sesuai Pasal 1 UU 12 Tahun 2011, harusnya kan begitu, tapi sekarang yang dilakukan tanpa uji publik,” ujarnya.
Siang tadi, sidang sengketa UU Provinsi Kalsel di Mahkamah Konstitusi (MK) kembali bergulir. Pemkot Banjarbaru dihadirkan sebagai pihak terkait.
Pazri melihat jawaban-jawaban Pemkot Banjarbaru melalui kuasa hukumnya belum menyentuh substansi pokok perkara. Serta tidak didukung bukti surat yang kuat.
“Mereka lebih sibuk menjelaskan historis serta geografis dan keunggulan daerah, belum terlihat konkret, detail, sistematis atas subtansi proses pemindahan ibu kota,” ujarnya.
Karena tak menemukan jawaban yang sesuai dengan isi pokok perkara dalam permohonan uji materiel dan formil, Pazri pun makin optimis.
“Kami semakin optimis [permohonan] kami dikabulkan ke depan,” ujarnya.
Benarkah Senayan Sudah Jaring Aspirasi Pemindahan Ibu Kota Kalsel Seperti Klaim Arteria?
Diketahui ada tiga pihak selaku pengguat UU Provinsi Kalsel. Pertama Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Ketua DPRD Banjarmasin Harry Wijaya. Kedua, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Banjarmasin dan sejumlah pemohon perseorangan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kota Banjarmasin.
Ibnu dan Harry kompak menyatakan dalam proses pembentukan UU Provinsi Kalsel tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Secara khusus, DPR RI tidak pernah datang ke Banjarmasin untuk langsung menampung aspirasi masyarakat.
Ibnu menganggap pembentukan UU Provinsi Kalsel juga tidak memerhatikan keserasian hubungan pemerintah pusat daerah. Terbukti dengan tidak adanya penetapan DPRD Kalsel dalam rapat paripurna untuk memutuskan ibu kota provinsi berpindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru.
Sebagai pemangku kepentingan pemerintah daerah, Pemkot Banjarmasin pun tidak pernah dilibatkan. Mulai dari tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi hukum dan menjadi rancangan yang diajukan dalam penetapan RUU.
Senada, Kamar Dagang dan Industri Banjarmasin merasa telah dirugikan atas keberadaan UU Provinsi Kalsel. Dalam proses pembuatannya, mereka juga tidak dilibatkan.
Kadin menilai rencana pemindahan ibu kota provinsi ke Kota Banjarbaru akan berdampak pada sektor ekonomi. Terutama, bagi penyedia akomodasi dan usaha kuliner serta sektor konstruksi dalam penyediaan pembangunan fisik yang akan mengurangi kemajuan infrastruktur pendukung di Banjarmasin.
Sementara pemohon lain Forum Komunikasi Kota Banjarmasin menyatakan ketidakjelasan faktor mendasar dari pemindahan ibu kota Kalsel dapat merugikan mereka karena gejolak ekonomi akibat Covid-19, harga kebutuhan yang naik, dan alokasi APBD provinsi yang akan beralih untuk ibu kota baru sehingga kesejahteraan masyarakat tidak lagi menjadi hal yang prioritas.
Forkot menilai pendanaan besar untuk pemindahan ibu kota sebaiknya dapat digunakan untuk pemulihan Covid-19, bantuan-bantuan untuk masyarakat, dan dana pendidikan.
Secara historis, Forkot melihat Kota Banjarmasin memiliki peran penting dalam perkembangan Provinsi Kalimantan Selatan sejak masa 1500-an yang dijadikan pusat pemerintahan. Dengan mengubah kedudukan Kota Banjarmasin sama dengan melakukan pembelokan sejarah.
Untuk itu mereka memohon pada Mahkamah agar mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan menyatakan UU Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "Ibu kota Provinsi Kalsel berkedudukan di Kota Banjarmasin dan pusat pemerintahan di Kota Banjarbaru"
Sidang Sengketa Ibu Kota Kalsel, Banjarbaru Klaim Dukungan Banjar dan Balangan!