bakabar.com, BANJARMASIN – Sepekan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level IV, tingkat kepatuhan protokol kesehatan (prokes) masyarakat di Banjarmasin justru menurun.
Sepekan sebelum PPKM level IV, data Monitoring Kepatuhan Protokol Kesehatan milik Satgas Covid-19, rata-rata tingkat kepatuhan masyarakat di Banjarmasin menggunakan masker mencapai 94% dan menjaga jarak 87%.
Namun bukannya membaik, selama pembatasan darurat diberlakukan tingkat kepatuhan warga di Banjarmasin malah di bawah Kabupaten Banjar.
“Selama pelaksanaan [PPKM] justru menurun masing-masing menjadi 86% dan 73%,” ujar Anggota Tim Pakar Covid-19, Universitas Lambung Mangkurat, Hidayatullah Mutaqqin saat dihubungi bakabar.com, Selasa (3/8).
Tingkat kepatuhan masyarakat di Banjarmasin masih kalah dengan masyarakat di Kabupaten Banjar yang dilaporkan mencapai 90 persen. Banjar memberlakukan PPKM sejak 26 Juli, namun hanya sebatas level III.
Kepatuhan terhadap prokes selaras dengan tingkat penularan kasus Covid-19 di Banjarmasin. Hasilnya, selama PPKM level IV, 26 Juli-2 Agustus, jumlah kasus konfirmasi di Banjarmasin bertambah 1.130, sembuh 566 dan meninggal 48 orang.
Jumlah kasus kematian di Banjarmasin dalam sepekan tersebut bahkan paling tinggi sepanjang sejarah pandemi di Banjarmasin.
Kasus kematian, kata Taqqin, berpotensi meningkat lebih besar lagi mengingat masih banyaknya warga terinfeksi baik di rumah sakit maupun isolasi mandiri.
Bahkan menurut data Kementerian Kesehatan, pada 2 Agustus kemarin jumlah pasien yang menggunakan tempat tidur Covid-19 di rumah sakit di Banjarmasin sebanyak 610 orang.
Lantas bagaimana seharusnya pelaksanaan PPKM level IV Jilid II di Banjarmasin?
Taqqin menjawab yang terpenting dalam pelaksanaan PPKM adalah keseriusan dalam mengimplimentasikan berbagai aturan pembatasan yang sudah dibuat agar laju insidensi dan risiko infeksi Covid-19 terhadap masyarakat menurun dan kapasitas respons sistem kesehatan meningkat.
“Kita harus melihat perubahan indikator tersebut minimal dalam 14 hari terakhir, jangan hanya satu dua hari terakhir,” ujarnya.
Ketidakseriusan dalam penerapan PPKM dapat berakibat semakin tingginya risiko masyarakat terpapar Covid-19, semakin besarnya kasus kematian, dan menurunnya kemampuan fasilitas kesehatan menghadapi beban tersebut.
“Mengapa persoalan keseriusan ini dipertanyakan? Dari sisi pengamatan lapangan mobilitas penduduk cenderung normal dan sangat mudah menemui di jalan masyarakat yang tidak menggunakan masker,” ujarnya.
Lebih jauh, meminjam data indikator mobilitas penduduk Google pada level Provinsi Kalimantan Selatan, tidak ada penurunan signifikan mobilitas penduduk selama PPKM level IV dibanding mobilitas satu pekan sebelumnya.
Dari sederet persoalan itu, maka Taqqin tak heran jika Banjarmasin kembali melanjutkan PPKM level IV mulai 3 Agustus hingga sepekan ke depan.
“Hal ini tidak mengejutkan karena situasi Banjarmasin selama sepekan pelaksanaan PPKM belum membaik. Laju pertumbuhan kasus Covid-19 dan risiko masyarakat untuk terinfeksi masih sangat tinggi sedangkan kapasitas respons sistem kesehatan masih sangat terbatas,” ujarnya.
Perlu dipahami memburuknya perkembangan pandemi Covid-19 di Banjarmasin dalam pekan pertama pelaksanaan PPKM level 4 tersebut sebenarnya berkelindan dengan kondisi yang telah terjadi pada pekan-pekan sebelumnya. Jadi dampak pelaksanaan PPKM level 4 baru akan terlihat mulai pekan kedua.
Menurutnya, hal sederhana dalam keseriusan pelaksanaan PPKM seperti aturan mengenai work from office (WFO) maksimal 50% betul-betul diterapkan dimulai dari instansi dan perkantoran pada pemerintah kota sendiri.
“Kemudian juga mengganti rapat-rapat tatap muka dengan daring. Tujuannya di samping untuk mengurangi risiko penularan juga sekaligus memberikan contoh ke masyarakat. Sebab masyarakat untuk taat disuruh prokes juga perlu contoh atau keteladanan,” jelas dosen ilmu ekonomi dan studi pembangunan, ULM Banjarmasin ini.
Menurutnya, keseriusan juga mesti diimplimentasikan dengan menjaga jangan sampai testing mengalami penurunan. Asal tahu saja, tracing di Banjarmasin selama ini masih nol koma.
Data Kementerian Kesehatan menyebut rasio lacak Banjarmasin seminggu terakhir pada 2 Agustus baru 0,74. Artinya rata-rata dari setiap pasien Covid-19 di Banjarmasin, hanya 0,74 orang yang bisa disasar kontak erat. Jika dibulatkan, berarti 1 orang pasien hanya bisa dapat 1 kontak erat.
“Akibatnya meskipun testing sudah memenuhi standar WHO, masih terjadi keterlambatan deteksi warga yang terinfeksi Covid-19,” ujarnya.
Lantas bagaimana menekan angka kematian?
Taqqin meminta Pemkot Banjarmasin lebih jeli mengatensi golongan rentan terinfeksi Covid-19.
Mereka yang mengalami gejala berat, lansia dan memiliki komorbid mesti segera mendapatkan layanan kesehatan sebagai bagian dari treatment.
Sedangkan yang OTG dan bergejala ringan diisolasi agar agar tidak menularkan kepada penduduk lainnya. Jadi di samping keseriusan dalam pengendalian mobilitas penduduk dan penerapan prokes, juga keseriusan dalam 3T [Tracing, Testing, dan Treatment].
Terpisah, Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kedokteran ULM Husaini turut memberikan catatan. Harapannya agar pada PPKM kali ini tak berlangsung sia-sia.
Husaini sepakat jika upaya 3T menjadi kunci menekan penularan Covid-19. Semakin lebih awal terdeteksi, maka akan semakin mudah dan cepat penanganannya. Potensi seseorang masuk rumah sakit pun juga bisa ditekan.
“Dengan catatan lacak kasus itu betul-betul dilakukan. Rasio lacak di Kota Banjarmasin turun ke angka 0,7. Artinya, masih sedikit yang dilacak,” tegasnya.
Husaini juga menekankan agar upaya treatment atau penanganan juga lebih diperhatikan. Misalnya, untuk warga yang menjalani isolasi mandiri alias isoman, Pemkot dapat menyediakan tempat isolasi terpusat.
“Kemudian disusul kepatuhan masyarakat untuk bisa lebih disiplin protokol kesehatan. Ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan kasus,” pesannya.
Klaim Wali Kota
Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina mengklaim tingkat rasio lacak menyentuh angka 3,9 persen. Angka bagus itu diperolehnya 6 hari lalu.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya: