Oleh: Kadarisman, PPa H (Pemerhati Sosial di Tabalong)
KANCAH politik Indonesia sangat high cost. Biaya berpolitik mahal tentu punya implikasi negatif. Buktinya kerap politisi terjerat korupsi.
Entah di DPR atau mereka yang ada di lingkup istana. Era pemerintahan Jokowi, 4 menterinya tersandung KPK: Idrus Marham, Lukman Hakim S, Enggartiasto Lukita dan Imam Nahrawi. Bagaimana di DPR? Tentu tak terhitung. Jelas pasti lebih banyak.
Banyaknya pejabat negara di dua lembaga pilar demokrasi; eksekutif dan legislatif terseret KPK membuat jengah politisi. Gerakan yang dialihkan sebagai hak konstitusional beraroma abuse of power pun dirancang.
DPR dan Pemerintah sepakat merumuskan kebijakan berorientasi pada pengamanan lingkar kekuasaan. Suara rakyat tak lagi didengar.
Namun hal pasti mereka keukeh supaya KPK harusnya senjata yang tak boleh menyalak tuannya sendiri.
Intervensi disuntikkan ke lembaga KPK melalui pengawas internal yang ditentukan pemerintah. Penyadapan harus izin pengawas. Setelah izin dapat, pengawas kontak lingkar kuasa. “Kau hati-hatilah. Kau lagi disadap”
KPK kemudian digolongkan ke dalam pihak eksekutif, menjadi lembaga pemerintah. Independensinya hilang. Ini menjadi pintu masuk DPR menjadikan KPK sebagai objek yang bisa dilakukan angket. Dan KPK mesti tunduk! Tidak seperti waktu-waktu sebelumnya, KPK terlampau berani menantang lembaga DPR.
Selama ini KPK telah menjadi momok bagi investor politik. Bagaimana tidak, modal pemilu belum “break even point” tetapi banyak politisi masuk bui.
Kenyataan-kenyataan tersebut tidak saja mengancam eksistensi karir politik politisi tetapi mengancam eksistensi partai politik dalam merengkuh kekuasaan.
Bangsa kita mahfum, jika kontestasi kursi kekuasaan menelan biaya tak sedikit.
Jika merebut satu kursi parlemen saja bisa menghabiskan dana ratusan juta, maka harga sebuah kursi presiden mencapai angka ratusan miliar. Ada uang pribadi. Ada uang partai.
Ada yang pengusaha berbaur membentuk satu kesatuan harapan. Jika kelak menang ingatlah bahwa ada pihak lain yang turut berjuang.Dan itu bukan harga sebuah derma biasa, tetapi sebuah investasi yang telah berhitung masak untung ruginya. Dan hal pasti itu minta “dibayar”.
Membayar investasi politik itu kemudian terganggu. Gangguan paling besar adalah UU KPK. KPK kerap menjadi penghalang dalam urusan politisi mengembalikan modal politik.
Mengandalkan gaji tentu tak mungkin. Hal yang terbuka adalah menjual pengaruh kekuasaan untuk mengambil lebih yang bukan haknya.
Itu sebab, menempati posisi politik tertinggi di negeri ini sekaligus menyerahkan diri dalam penyendaraan yang sejati.
Penguasa tersandera oleh partai politiknya dan tersandera oleh syarat investasi pihak donator ketika pemilu. Semua itu ada syarat yang mesti dibayar, bukan dengan uang, tetapi dengan kebijakan yang memberikan jalan kebijakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Dimulailah merevisi kebijakan. UU tenaga kerja misalnya, mesti di-review kembali. Alasannya bukan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, tetapi lebih kepada meningkatkan keuntungan investasi kapitalis.
Pintu masuk kapitalisme menggurita. Penguasaan ya tidak lagi semata pada alat-alat produksi, tetapi menguasai alat-alat negara guna mencapai tujuannya.
Dalam waktu hampir sama, UU KPK disesuaikan dengan semangat kapitalis. Jika tidak, KPK tidak hanya menjadi ancaman politisi di eksekutif dan legislatif, tetapi pula menyasar investor dan korporasi.
Misorientasi semangat pemerintah juga terjadi pada RUU lain misalnya, UU Koperasi yang disisipi oleh kepentingan-kepentingan elit politik yang berupaya menancapkan kukunya pada pasal-pasal yang mengatur keberadaan Dekopin dalam perkoperasian Indonesia.
Semua itu adalah sebuah konstruksi kekuasaan dalam mengembalikan modal politiknya yang high cost.
Jadi jika sekarang ketika pemangku kekuasaan, entah di pemerintahan atau di lembaga “kongres” lebih mendengarkan kalangan kapitalis dibanding rakyatnya itu merupa konsekuensi dari penyimpangan-penyimpangan praktik politik yang kolutif.
Negara harus diselamatkan dari hal-hal demikian. Cara sederhana adalah menciptakan partisipasi politik yang berlandaskan pada nilai-nilai meretokrasi, tanpa kecuali.
Peran signifikan yang dapat melakukan ini adalah dengan menjadikan partai politik ke khitahnya, sebagai fungsi pendidikan politik.Penguatan fungsi ini sudah tak boleh lagi abai, sehingga produk kekuasaan yang lahir dari lembaga politik dapat mengawal negara dengan menjalankan roda pemerintahan yang berorientasi kepada keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.
Jika tidak, sampai kapanpun partsipasi politik dalam kekuasaan hanya akan berkutat kepada bagaimana membayar investasi politik, tidak memikirkan bagaimana mengurus rakyat menjadi lebih baik. (*)
Baca Juga: Menjajal Tuah Balangan1
Baca Juga: Memurnikan Sakit Berbekal Tauhid
======================================================================
Tulisan ini adalah kiriman dari publisher, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.