bakabar.com, BANJARMASIN – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melihat potensi besar korupsi di Kalsel ada pada sektor pengadaan barang dan jasa.
Berdasarkan APBD Kalsel 2018 yang mencapai Rp6,5 triliun, pengadaan barang dan jasa untuk birokrasi jauh lebih besar dibanding pelayanan publik.
“Artinya, APBD Kalsel lebih banyak digunakan untuk kepentingan birokrasi,” ucap Tenaga Ahli Stranas KPK Hayidrali, Kamis (12/09) malam.
Kondisi itu dinilai sekitar 40-50 persennya akan rawan terjadi tindak pidana korupsi. “Bahkan, bisa berpotensi korupsi hingga 80 persen,” tegasnya.
Kerawanan terjadi dari penyusunan perencanaan penganggaran hingga pembahasan anggaran di lembaga legislatif.
“Di situ paketnya sudah disusun, dan akan memenangkan salah satu tender. Seperti yang telah diketahui, anggota dewan juga memiliki perusahaan. Kemudian, akan mengarahkan ke perusahaan mereka,” ujarnya.
Terkadang, kata dia, persepsi pengadaan hanya menjadi formalitas semata. Padahal proyek tersebut sudah dibagi-bagi.
Semestinya pemerintah daerah, sambung Hayidrali, melaksanakan pengadaan barang dan jasa yang sifatnya mudah. Dengan durasi waktu pengadaan sekitar 18 hari.
“Untuk prakualifikasi itu mencapai 40 hari. Bahkan, ada yang lebih simple, yakni pengadaan cepat,” tegasnya.
Jika terdapat sistem pengadaan barang dan jasa menghambat, maka itu dinilai tak benar. Terlebih, sistem sudah sangat sederhana.
“Dalam birokrasi yang sulit bukan tambah kurangnya, akan tetapi pembagiannya,” pungkasnya.
Baca Juga: Firli Jadi Ketua, Ramai-Ramai Undur Diri dari KPK
Baca Juga: Aliansi Jurnalis Independen Kecam Upaya Pelemahan KPK
Reporter: Muhammad RobbyEditor: Fariz Fadhillah