bakabar.com, BARABAI - Kepala Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Tengah (HST), Wagiyo Santoso meluruskan perihal pemanggilan dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebelumnya, Wagiyo disebut-sebut dipanggil oleh KPK sebagai saksi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) oleh mantan Bupati HST, Abdul Latif. Bahkan senter diberitakan dia dicecar pertanyaan oleh KPK terkait TPPU.
"Sampai saat ini tidak pernah ada pemanggilan." Kata Wagiyo saat ditemuibakabar.comdi ruang kerjanya, Selasa (30/7).
Dikutip daridetik.com, Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah kepada wartawan pada Senin (8/7/2019) menyebutkan penyidik tengah menggali keterangan saksi tentang dugaan aliran uang dalam perkara TPPU terhadap tersangka Abdul Latif.
Disebutkan Wagiyo, ketika itu sudah diklarifikasi akan dipanggil melalui Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun dia menjelaskan, saat Abdul Latif menjabat kemudian ditangkap, ia merupakan pejabat baru di Kejari HST.
"Jadi boleh dibilang saya tak tau menahu "track record" Latif. Jadi tidak jadi dipanggil karena baru menjabat, jadi tidak ada yang bisa diklarifkasi dari saya," terang Wagiyo.
Wagiyo, ketika penangkapan Abdul Latif, baru dua bulan menjabat sebagai Kepala Kejari HST. Sebelumnya dia bertugas sebagai Koordinator di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Diberitakan sebelumnya, KPK menangkap Bupati HST, Abdul Latif pada awal 2018. Ia terjaring Operasi Tangkap Tangan dengan komitmen suap Rp3,6 miliar. Kemudian ia dan Fauzan, Kadin HST dan Abdul Basit ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penerimaan fee proyek di lingkup Pemerintah HST. Sedangkan Donny Winoto, Dirut PT Menara Agung berstatus tersangka karena diduga sebagai pemberi suap.
Mengutip Tempo, dalam penangkapan itu, KPK mengamankan rekening koran atas nama PT Sugriwa Agung dengan saldo Rp1,825 miliar dan Rp1,8 miliar. Selain itu KPK mengamankan uang dari brankas Abdul Latif Rp65,65 juta dan uang dari tas milik Abdul Latif di ruang kerjanya sebesar Rp35 Juta.
Baca Juga: Setelah Kajari, Kini Eks Kapolres HST Dipanggil KPK Terkait Pencucian Uang
KPK menduga Doni memberika uang kepada Latif, Fauzan dan Basit sebagai fee proyek pembangunan Ruang Perawatan Kelas I, II, VIP dan Super VIP di RSUD Damanhuri Barabai tahun anggaran 2017.
"Komitmen fee dari Proyek itu sebesar 7,5 persen atau sekitar Rp3,6 miliar," kata Agus Rahardjo, Ketua KPK di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan pada Jumat (5/1/2018).
Pemeriksaan Latif pun terus dikembangkan hingga berbuntut penyitaan barang-barangnya oleh KPK. Tercatat 23 kendaraan Latif disita termasuk truk molen dari PT Sugriwa Agung.
Majelis Hakim Tipikor kemudian menjatuhkan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp300 juta serta pencabutan hak politik Latif selama 3 tahun pada Kamis (20/9/2018) di Pengadilan Tipikor, Jakarta
Dengan vonis yang dibacakan Ketua Majelis itu, Latif langsung mengajukan banding di Pengadilan Tinggi. Hukuman Latif pun bertambah.
Hasilnya dari Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman menjadi 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Latif Terbukti melanggar Pasal 12 Huruf b UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Baca Juga: KPK dan ESDM Kalsel Temukan 3 Pertambangan Tanpa Izin di Tala
Reporter: HN Lazuardi
Editor: Muhammad Bulkini