bakabar.com, BALIKPAPAN – Sejumlah lembaga swadya masyarakat atau LSM di Kaltim kompak menyebut Gubernur Kaltim Isran Noor gagal paham. Dalam diskusi terkait rencana pemindahan ibu kota di Indonesia Lawyer Club, belum lama tadi, Isran menyebut kawasan Bukit Soeharto bukan merupakan hutan lindung.
"Bukit Soeharto itu saya sampaikan, bukan hutan lindung, hutan produksi eks HPH milik Inhutani dan Kayu Mahakam. Kalau di sisi selatan [Bukit Soeharto] ada hutan lindung yaitu Sungai Wain dan Bukit Bengkirai," ungkap Isran.
Memiliki luas lebih kurang 60.000 hektare, Bukit Soeharto selama ini dikenal berstatus taman hutan raya atau Tahura. Klaim Isran itu pun dibantah keras Wahana Lingkungan Hidup Kaltim, dan Jaringan Advokasi Tambang Kaltim.
“Berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor 577 tahun 2009 tentang Penetapan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Kabupaten Kutai Kertanegara dan PPU, kawasan itu termasuk di dalam kategori kawasan konservasi berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1990,” jelas Direktur Eksekutif Walhi Yohanna Tiko kepada bakabar.com, Kamis siang.
“Status Bukit Suharto adalah Taman Hutan Raya sesuai SK Menhut tahun 2004 yang dipertegas kembali di SK 577 Menhut tahun 2009 dan Perubahan SK 231 Menhut tahun 2017 yang menciutkan beberapa luasan Tahura, dalam SK ditetapkan fungsinya sebagai hutan konservasi dan hutan Pendidikan. Jadi sekali lagi Tahura Bukit Soeharto itu bukan hutan produksi,” tambah Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang.
Sebagai tahura, Bukit Soeharto tak cuma memiliki fungsi konservasi untuk menjaga kelestarian alam, melainkan menjamin pemanfaatan potensi kawasan sebagai wilayah koleksi tumbuhan dan satwa untuk kepentingan penelitian, pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
"Keanekaragaman hayati di sana akan hilang apabila ibu kota benar dipindahkan ke lokasi ini, dan berganti menjadi infrastruktur permanen pusat pemerintahan,” terang Tiko, sembari menilai klaim Isran menyalahi aturan peruntukan ruang.
Pemindahan ibu kota kata dia akan semakin memperparah kondisi Tahura Bukit Soeharto, dan mempersempit ruang konservasi di Kaltim. “Menjadi Kaltim sebagai ibu kota rencana abai terhadap aspek kelestarian lingkungan,” jelas dia.
Walhi juga mempertanyakan klaim Isran Noor yang menyatakan masyarakat Kaltim sepenuhnya pendukung proyek pembangunan ibu kota di Kaltim. “Masyarakat yang mana,” tanya Tiko.
Sepanjang rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan digulirkan, Tiko menilai pemerintah masih minim melibatkan masyarakat, khususnya masyarakat adat Dayak. Tiko meminta pemerintah memperhatikan lagi daya tampung wilayah, lingkungan, dan energi Kaltim.
“Kaltim saat ini masih biarpet, untuk pemenuhan energi mau didapatkan dari mana? Jika PLTU, daerah mana lagi yang akan dikorbankan,” ujar dia.
“Kaltim ini sudah darurat ruang dan bencana ekologis akibat perizinan di sektor pertambangan, perkebunan kelapa sawit dan sektor kehutanan. Di mana luas seluruh perizinan di Kaltim mencapai 13,83 juta hektar, padahal luas daratan hanya 12,7 juta hektar,” ujarnya mengakhiri.
Baca Juga:Gubernur Kaltim Tegaskan Sikap Soal Pemindahan Ibu Kota
Baca Juga:Gubernur Kaltim: Pemindahan Ibu Kota untuk Kebutuhan Bangsa
Editor: Fariz Fadhillah