bakabar.com, MARABAHAN – Berawal dari Niah yang kerap merasa didatangi naga, perkawinan di Ulu Benteng, Marabahan, Kabupaten Batola, mulai diramaikan tradisi baarak naga.
Naga dalam budaya Dayak diasumsikan sebagai simbol dunia bawah air. Sejalan kepercayaan terhadap dwitunggal semesta, dunia atas dikuasai sosok yang disimbolkan burung enggang gading.
Baca Juga: Baarak Naga: Orientasi Mempelai Pria Ulu Benteng Batola
Sedangkan manusia yang hidup di darat, berada di sela-sela dwitunggal semesta tersebut.
Sama seperti suku-suku yang mendiami pesisir Sungai Barito, Dayak Bakumpai juga mempercayai keberadaan naga sampai sekarang. Beberapa kebudayaan yang berkembang, juga berkaitan dengan makhluk mitologi tersebut.
Itu termasuk baarak naga yang masih bertahan sampai sekarang, sebagian besar dilangsungkan di Ulu Benteng.
“Baarak naga sudah menjadi tradisi arak-arakan pengantin sejak orangtua saya. Artinya usia tradisi ini sudah ratusan tahun,” ungkap Mastoni, salah seorang sesepuh di Ulu Benteng.
Wanita yang sekarang berusia 80 tahun itu bahkan memiliki hubungan langsung dengan asal muasal tradisi baarak naga. Bahkan mertua Mastoni, Igum dan Niah, yang pertama kali memperkenalkan tradisi tersebut.
“Mertua saya yang pertama kali memperkenalkan baarak naga. Awalnya ibu mertua saya (Niah) sering merasa dikelilingi penampakan bayangan naga, setiap kali mandi di batang,” kenang Mastoni.
Kemunculan penampakan naga itu berulang-ulang kali terjadi, sampai akhirnya Igum mengambil inisiatif
“Bermaksud mengusir gangguan itu, ayah mertua saya kemudian membuat ukiran berbentuk kepala naga. Ukiran itu menggunakan kayu yang mengapung di bawah batang,” jelas Mastoni.
Ternyata semenjak ukiran itu dibuat, si naga tidak lagi menampakkan diri. Kemudian agar pasangan lain di Ulu Benteng tak mendapat gangguan serupa, kepala naga itu selalu diarak dalam resepsi perkawinan.
Diyakini memiliki khasiat, masyarakat hanya menggunakan kepala naga ukiran mertua dan suami Mastoni untuk diarak. Sedangkan badan naga dibuat dibuat penyelenggara hajatan.
“Sampai sekarang baru tiga kepala naga yang dibuat. Setelah kepala naga buatan mertua saya rusak, suami saya yang membuat kepala naga selanjutnya,” jelas Mastoni.
Anehnya mertua maupun suami Mastoni sebenarnya bukan pengukir. Namun ketika memulai mengukir, hanya kepala naga yang berada di pikiran mereka.
Baca Juga: Makin Bersinar, Gimar Kebanjiran Order Manggung
Warga yang meminjam kepala naga milik Mastoni, tidak dipungut biaya. Bahkan demi menjaga tradisi, Mastoni tak menyerahkan kepala naga itu, ketika diminta Museum Lambung Mangkurat.
“Kalau dimasukkan ke museum, berarti sudah tidak ada kepala naga yang diarak. Tetapi kalau hanya dipinjam, tentu masih bisa,” tutup Mastoni.
Reporter: Bastian Alkaf
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin