bakabar.com, JAKARTA -Jelang pemilihan umum niilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini bergerak menguat di perdagangan pasar spot. Rupiah berhasil memanfaatkan kondisi dolar AS yang sedang tertekan.
Pada Senin (15/4/2019), seperti dilansir CNBCIndonesia,US$ 1dibanderolRp 14.080 kala pembukaan pasar. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Seiring perjalanan pasar, penguatan rupiah kian meyakinkan. Pada pukul 08:30 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.060 di mana rupiah menguat 0,21% dan menyentuh posisi terbaik sejak 28 Februari.
Selama sepekan lalu, rupiah menguat 0,49%. Apabila penguatan kali ini bertahan sampai penutupan pasar, maka rupiah akan terapresiasi selama 3 hari beruntun.
Namun bukan berarti rupiah bisa bersantai, karena mayoritas mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS. Selain rupiah, hanya yen Jepang dan ringgit Malaysia yang berhasil menguat.Dolar AS bisa menyerang kapan saja, terbukti sebagian mata uang utama Asia sudah berhasil ditaklukkan.
Untuk saat ini rupiah boleh menepuk dada dulu. Pasalnya, penguatan 0,21% menjadikan rupiah sebagai mata uang terbaik di Benua Kuning. Dalam hal menguat terhadap dolar AS, tidak ada mata uang Asia yang sebaik rupiah.
Baca Juga: Jelang Pemilu, Perputaran Uang di Kalsel Rp847 Miliar
Ada Harapan di Neraca Perdagangan
Rupiah cs berhasil memanfaatkan dolar AS yang masih tertekan. Pada pukul 08:19 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisigreenbackdi hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,06%.
Maklum, dolar AS memang sudah menguat lumayan tajam akhir-akhir ini. Dalam sebulan terakhir, Dollar Index menguat 0,33% dan bahkan dalam 3 bulan ke belakang sudah melonjak 1,36%.
Selain itu, investor juga sedang semringah karena positifnya kinerja emiten di AS pada kuartal I-2019. Misalnya JPMorgan Chase, yang mampu membukukan pendapatan US$ 29,85 miliar, naik 4,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pencapaian ini lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan pendapatan di US$ 28,44 miliar.
Sementara pendapatan bersih tercatat US$ 9,18 miliar sehingga laba per saham (Earnings Per Share/EPS) berada di US$ 2,65. Lebih tinggi dibandingkan kuartal I-2018 di mana pendapatan bersih adalah US$ 8,71 miilar dan EPS di angka US$ 2,37.
Perkembangan tersebut menyebabkanrisk appetiteinvestor naik dan siap memburu aset-aset berisiko. Nampaknya termasuk juga instrumen di negara berkembang seperti Indonesia.
Dari dalam negeri, pelaku pasar menantikan rilis data perdagangan internasional Indonesia periode Maret. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi alias minus 10,75%year-on-year(YoY). Sementara impor juga diperkirakan terkontraksi, tetapi hanya 4,15% YoY.
Ini membuat neraca perdagangan diramal defisit US$ 217 juta. Pada bulan sebelumnya, neraca perdagangan masih bisa mencatat surplus US$ 300 juta.
Namun dalam debat capres-cawapres akhir pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga calon petahana membocorkan bahwa defisit transaksi berjalan (current account) pada kuartal I-2019 sebesar US$ 6,7 miliar. Lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 9,15 miliar.
Artinya, ada kemungkinan defisit neraca perdagangan Maret akan lebih rendah dibandingkan konsensus pasar. Bahkan kemungkinan surplus pun terbuka. Potensi neraca pembayaran yang lebih baik tentu menjadi sentimen positif bagi rupiah.
Baca Juga:Lagi, Sri Mulyani Menteri Keuangan Terbaik di Asia Pasifik
Editor: Aprianoor