Tak Berkategori

Gapki Kalsel Keluhkan Pemberlakuan Moratorium Sawit

apahabar.com, BANJARMASIN – Kalimantan Selatan masih jadi penyumbang ketiga ekspor kelapa sawit di level nasional sekalipun…

Featured-Image
Ilustrasi perkebunan Kelapa Sawit. Foto-antara

bakabar.com, BANJARMASIN – Kalimantan Selatan masih jadi penyumbang ketiga ekspor kelapa sawit di level nasional sekalipun menangguhkan penerbitan izin perluasan kelapa sawit atau moratorium.

Sejak instruksi presiden atau Inpres nomor 8 tahun 2018 terbit, presiden ingin produktivitas perkebunan kelapa sawit, baik milik perusahaan maupun perseorangan meningkat. Inpres berlaku selama tiga tahun sejak tanggal diterbitkan.

Dalam Inpres, pemerintah akan mengevaluasi dan menata kembali perizinan perkebunan sawit, salah satu tujuannya adalah memastikan kelestarian lingkungan tetap terjaga.

Baca Juga:GAPKI Kalsel Keluhkan Pungutan Ekspor CPO, dan Kenaikan Tarif Impor India

“Moratorium yang ditetapkan oleh pemerintah pusat berdampak terhadap penghasilan sawit di Kalsel. Kecuali perkebunan sawit yang berada di Area Penggunaan Lain (APL)," jelas Ketua Gapki Kalsel Totok Dewanto, kepada bakabar.com.

Menurutnya, menjaga hutan boleh saja, tapi hutan tersebut mesti bermanfaat untuk kehidupan masyarakat.

"Ya salah satunya dengan ditanami kelapa sawit,” jelas Totok.

Berdasarkan catatan Gapki, Kalsel masih berstatus 'Raja Sawit' setelah Sumatera Utara dan Riau. Dua nama tadi menjadi produsen utama sawit untuk nasional.

“Sumbangan nilai ekspor Kalsel untuk nasional sebanyak 10 persen,” ucap dia.

Baca Juga:Keluh Kesah Dayak Meratus di Hari Masyarakat Adat Nasional 2019

Di Kalsel, jumlah kawasan perkebunan sawit mencapai 420 ribu hektar dari 14 juta hektar di Indonesia. Kawasan terbagi menjadi dua: inti dan plasma.

Di Banua, sektor ini telah menyerap 80 ribu tenaga kerja. Sebanyak 89 perusahaan beroperasi, 49 di antaranya merupakan anggota Gapki. Kalsel juga memiliki refinery, yakni milik PT. Sinar Mas.

Keberadaan industri pengolahan akan membuka asa tersendiri bagi upaya daerah menggenjot produk turunan dari sawit.

Gapki pun meminta agar daerah berani membuka pintu selebar-lebarnya bagi para investor yang bertujuan mengembangkan industri hilir.

“Industri kayu kan sudah lewat. Cepat atau lambat ekstraksi batu bara akan habis, sehingga yang tepat adalah perkebunan kelapa sawit,” jelasnya.

Selama ini, beberapa kendala kerap ditemui oleh para pengusaha.

Baca Juga:Tingkatkan Ekspor dan Investasi, Presiden Dorong Hilirisasi Industri

Selain susahnya izin usaha, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalsel sering berubah tanpa sepengetahuan. Secara tiba-tiba kerap kali kawasan Hak Guna Usaha (HGU) mereka beralih menjadi kawasan hutan.

Kondisi tersebut, sambung Totok, berpengaruh terhadap Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Di mana ISPO sangat mendukung persaingan kualitas kelapa sawit di dunia internasional di tengah gencarnya tudingan negatif industri sawit.

Adapun, sertifikasi ISPO merupakan kewajiban bagi setiap perusahaan perkebunan sawit.

Terutama, sebagai wujud kepedulian dan kepatuhan perusahaan perkebunan sawit terhadap pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan, baik dari aspek sosial ekonomi, dan lingkungan.

“Ya, saya rasa itu saja. Kalau masalah kondisi sosial dan keamanan Kalsel cukup kondusif,” ungkap dia.

Baca Juga:Dewan: Hilirisasi Jadi Solusi Atasi Harga Sawit di Kalsel

Sementara, untuk mengatasi permasalahan harga TBS yang rendah Pemerintah Provinsi Kalsel via Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunak) tengah getol melakukan peremajaan bibit sawit untuk para pekebun rakyat. Tiga daerah yang disasar meliputi: Kabuapten Tanah Bumbu, Tanah Laut dan Kotabaru.

Selama ini hasil perkebunan kelapa sawit rakyat hanya menjual dalam tandan buah segar (TBS). Harga buah kelapa sawit dalam bentuk TBS pada tingkat petani per kilogram berkisar Rp600-Rp700.

Ya, sebenarnya Kalsel memiliki potensi besar akan perkebunan kelapa sawit rakyat.

Reporter: Muhammad Robby
Editor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner