bakabar.com, BANJARMASIN – Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) bekerjasama dengan Forum Pengembangan Dan Pemberdayaan Masyarakat Pertambangan Kalsel telah usai mendeklarasikan Pegunungan Meratus sebagai Geopark Nasional. Deklarasi dihelat di Kiram Park, Kabupaten Banjar, Minggu (24/2) sore.
Apa manfaat Geopark Meratus terhadap penyelamatan Pegunungan Meratus dari pertambangan batubara dan ekspansi perkebunan kelapa sawit?
Hal inilah yang terus dipertanyakan oleh sejumlah organisasi lingkungan hidup yang bernaung dalam Gerakan #SaveMeratus.
Gerakan yang dikomandoi langsung oleh Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyo ini mengajukan beberapa tuntutan.
Pertama, mempertanyakan langkah Pemprov Kalsel dalam penentuan dan penetapan Geopark Meratus.
“Karena dari awal perencanaan dan penetapan dinilai, tak melibatkan masyarakat sipil dan masyarakat sekitar lokasi Geopark Meratus, khususnya masyarakat adat Dayak Meratus,” ujarnya.
Kedua, mempertanyakan keterlibatan Forum Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Pertambangan Kalimantan Selatan dalam Geopark Meratus.
Ketiga, mendesak Pemprov Kalsel dan pemerintah pusat untuk segera mencabut izin tambang dan perkebunan kelapa sawit skala besar di pegunungan Meratus.
Kemudian lebih mengutamakan kebijakan yang lebih ramah lingkungan, berdasarkan potensi lokal, kearifan lokal dan mengutamakan keselamatan serta kesejahteraan masyarakat adat Dayak Meratus.
Keempat, mendesak pemerintahan daerah (Pemda) dan pusat segera mengakui hak-hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) Dayak Meratus dan wilayah adatnya.
Sedari dulu, sebagaimana pernah diwartakan sebelumnya, masyarakat adat Dayak Meratus sudah terbukti mampu mengelola wilayahnya, hidup dan berkehidupan, jauh sebelum negara ini merdeka.
Baca Juga:Segera Usulkan Penggunungan Meratus Jadi Geopark Dunia
Baca Juga:Masyarakat Adat "Benteng Terakhir" Pegunungan Meratus
“Sayangnya sampai sekarang belum diakui oleh pemerintah,” jelasnya.
Kemudian yang terakhir, mendesak agar dalam setiap langkah menentukan kawasan di pegunungan Meratus harus melibatkan Masyarakat Sipil dan Masyarakat Adat Dayak Meratus.
Ada sekitar 24 organisasi yang terlibat pada pernyataan sikap tersebut. Selain Walhi, ada pula Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam dan Seni ‘BORNEO’ Universitas Lambung Mangkurat (KOMPAS “BORNEO” UNLAM), Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (GEMBUK) HST.
Selanjutnya, AMAN Kalimantan Selatan, Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI), Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin, Mapala Apache STIMIK Banjarbaru, Yayasan SUMPIT, Mapala Graminea Fakultas Pertanian UNLAM Banjarbaru.
Kemudian, Kerukunan Mahasiswa HST (KM2HST) Banjarmasin, Lingkar Studi Ilmu Sosial Kerakyatan (LSISK) Relawan Lindungi Hutan (RLH) Banjarmasin, Jaringan Intelektual Muda Kalimantan (Seknas JIMKA), Dayak Kalimantan Bersatu (DKB), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kalsel, Perkumpulan Dayak Meratus (KUMDATUS) Kalsel, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kalsel, Komunitas SIAGA Kalsel, Sanggar Tari Batung Mira Putut Warukin-Tabalong, Mapala Meratus UIN Antasari, PD AMAN HST, ORPALA Tupan Meratus Tanah Laut, Bilik Bersenyawa dan DEMA FEBI UIN Antasari.
Bagi suku Dayak, Ketua Pusat Perhutanan Sosial dan Agroforestri Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Hamdani Fauzi sempat menyebut Meratus layaknya Nagari di Sumbar dan Masyarakat Dayak Iban di Kalbar.
Masyarakat Dayak memiliki pengetahuan dan kearifan lokal akan hutan di pegunungan yang berada di Tenggara Pulau Kalimantan serta membelah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi dua itu.
Membentang sepanjang 600 km2 dari arah tenggara dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, pegunungan ini menjadi bagian dari delapan kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan. Yaitu Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Balangan, Hulu Sungai Selatan (HSS), Tabalong, Kotabaru, Tanah Laut, Banjar dan Kabupaten Tapin.
Selain sebagai paru-paru untuk komunitas masyarakat dunia, suku Dayak memperlakukan Meratus layaknya ibu, sebagai sumber penghidupan sekaligus perlindungan.
Karenanya di tangan mereka, sejumlah komunitas adat di Kalsel menilai kelestarian alam Meratus diyakini bakal lebih terjamin.
Baca Juga:Pemerintah Hadir, Masyarakat Adat Meratus Kuat
Baca Juga: 40 Ribu Hektar di Pegunungan Meratus Bakal Diusulkan Hutan Adat
Oleh suku dayak, hutan Meratus dikelola secara bersama dan berdasarkan kebiasaan atau hukum adat.
Pengakuan hutan dan masyarakat hutan adat oleh pemerintah bukan hanya akan menjadi kado manis bagi suku Dayak Meratus, melainkan juga menjadi senjata lain terhadap ancaman industri ekstraktif macam pertambangan batubara ataupun sawit.
Manakala ‘ibu’ mereka, sumber penghidupan sekaligus perlindungan masyarakat adat dayak ditodong ancaman industri penambangan, Palmi Jaya Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Selatan (Aman Kalsel) berkata, masyarakat adat takkan mungkin tinggal diam.
“Jauh sebelum negara ini dideklarasikan, Pegunungan Meratus sudah didiami oleh masyarakat adat,” jelasnya kepada bakabar.com.
“Sungai kita tetap jernih, tanah kita tetap subur karena masyarakat mencukupi hidup dengan bertani dan bercocok tanam, lain halnya jika PT MCM beroperasi. Akan banyak aspek kehidupan dan sosial yang dirugikan,” ucapnya lagi.
Adanya tumbuhan yang hidup dalam ekosistem hutan baik yang masih alami dan juga sudah dikelola oleh masyarakat adat menjadikan Meratus layaknya Lungs of The World yaitu paru-paru dunia. Karenanya Meratus adalah penghasil oksigen terbesar bagi dunia.
Dilansir Antara, dari 8 Kabupaten di Kalsel yang masuk wilayah Meratus, cuma Kabupaten HST yang belum tersentuh pertambangan batu baranya.
Pusat Sumberdaya Geologi Departemen Pertambangan dan Energi juga pernah melakukan penelitian dan menyelidiki potensi tambang di HST dengan mendeteksi cadangan batu bara di dua Kecamatan yaitu Batang Alai Timur dan Haruyan.
Di Kecamatan Batang Alai Timur terdapat 15 juta ton dengan nilai panas 5.000-6.000 kcal per kilogram sedangkan di Kecamatan Haruyan terdeteksi sekitar 300 ribu ton, dengan nilai kalori 6.000-7.000 kcal per kilogram.
Izin kuasa pertambangan (KP) batubara yang pernah dikeluarkan HST pernah terjadi tahun 1995 namun karena dalam pelaksanaannya izin tersebut disalahgunakan, hingga Pemerintah Kabupaten mencabutnya pada tahun 2002.
Baca Juga:Eksaminasi Putusan Tambang di Meratus, Walhi Libatkan Tiga 'Guru Besar'
Baca Juga:Pemerintah Harus Selamatkan Meratus
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Fariz Fadhillah