bakabar.com, BANJARMASIN - Ulama menurut KH Ma'ruf Amin, selama ini kerap dimanfaatkan orang politik sebagai daun salam dalam membuat sayuran. Namun setelah sayur masak, daun salam dibuang lebih dulu. Menyadari hal itu, Kiai Ma'ruf tak ingin begitu.
“Dulu, Kiai diibaratkan seperti daun salam. Ibu-ibu kalau masak, pakai daun salam. Tapi kalau sudah selesai masak, yang pertama kali dibuang apanya, daun salam," kata Kiai Ma'ruf seperti dilansir dari Tribun, ketika menghadiri halaqoh nasionalisme bertema ‘Menjaga Keutuhan NKRI’ di Gedung NU Center, Kelurahan Munggut, Madiun, pada Senin (21/1) malam.
Dijelaskan Kiai Ma'ruf, sudah sejak lama ulama dilibatkan dalam perpolitikan. Namun ulama hanya menjadi penarik massa, yang setelah terpilih, ulama itu diabaikan begitu saja.
“Dari dulu, capres dan cawapres mencari ulama untuk mendukungnya. Setelah itu, wabillahi taufiq wal hidayah (dilupakan,red),” ungkap Kiai.
Sekarang, ulama ikut berperan aktif dalam pemerintahan. Sehingga tidak mudah ditinggalkan begitu saja.
"(sekarang,red) Pak Jokowi tidak hanya mendapatkan dukungan dari kiai dan ulama, tetapi satu-satunya capres yang menggandeng ulama.”
Kiai Ma'ruf mengaku sudah betah dengan jabatannya dulu sebagai Ketua MUI dan Rais Aam PBNU. Namun setelah diminta para ulama dan petinggi NU, maka dengan kerelaan, kesiapan, dan sunguh-sungguh, Kiai akhirnya menerima tawaran Jokowi sebagai cawapres.
“Saya anggap ini bentuk penghargaan kepada ulama. Pak Jokowi bisa saja memilih wakilnya dari kalangan politisi profesional, pengusaha, bisa. TNI atau Polri, juga bisa. Tetapi beliau tidak memilih orang itu, tetapi milih saya. Bagi saya itu merupakan bentuk penghargaan kepada ulama,” jelasnya.
Baca Juga:Ratusan Personel Polda Kalsel Siap 'Tempel' Kunjungan KH Ma'ruf Amin
Alasan lain, kenapa Kiai bersedia mendampingi Jokowi adalah karena dia menganggap Jokowi concern terhadap upaya menjaga keutuhan bangsa dan keutuhan NKRI.
“Bagi kita NU, NKRI adalah harga mati. Bahkan sudah dilakukan sejak masa yang lalu, ketika Indonesia dalam keadaan kritis, ketika Indonesia baru dimerdekakan pada Agustus 1945.
Dua bulan kemudian, Oktober penjajah datang lagi, untuk menjajah lagi. Tentara belum terkonsolidasi, polisi belum terkonsolidasi, untungnya ada putera terbaik bangsa, KH Hasyim Asyari sebagai pendiri NU, yang juga pimpinan Pondok Tebu Ireng, tampil membuat fatwa jihad, melawan penjajah,” jelasnya.
Pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mendeklarasikan resolusi jihad, untuk merespons Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang mencoba menjajah Indonesia kembali.
Hal itulah yang menginspirasi dan memotivasi masyarakat untuk berani melawan penjajah.
Para ulama kemudian mendeklarasikan perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai perang jihad melawan penjajah, pada 10 November 1945.
“Hingga akhirnya, 10 November dijadikan Hari Pahlawan, tetapi 22 Oktober, yang menjadi inspirasi dilupakan. Baru setelah 70 tahun, pada 2015, 22 Oktober ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional oleh Pak Jokowi,” tegasnya.
Baca Juga:Selisih Elektabilitas Jokowi dan Prabowo Semakin Rapat
Editor: Muhammad Bulkini