bakabar.com, BANJARMASIN - Berdirinya NU di tanah Banjar kerap diidentikkan dengan pemimpinnya yang pertama, KH Abdul Qadir Hasan atau yang akrab dikenal dengan Guru Tuha. Namun ternyata, pendirian NU di Kalsel berawal dari perintah gurunya, KH Kasyful Anwar.
Menurut ulama sepuh Banjarmasin, KH Syaifuddin Zuhri, KH Abdul Qadir Hasan berangkat ke Jombang untuk berguru pada KH Hasyim Asy'ari adalah perintah dari KH Kasyful Anwar.
KH Kasyful Anwar adalah alumni Tanah Haram, meski dalam segi umur beliau lebih muda dari KH Hasyim Asy'ari. Namun dalam beberapa guru, mereka satu guru. Di antaranya adalah Syekh Bakri Syatha.
Sepulang dari Tanah Haram, Guru Kasyful mengurus Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Beliau banyak membuat pembaharuan di perguruan Islam tersebut. Di saat itulah beliau melihat bakat dari muridnya, KH Abdul Qadir Hasan yang bisa dikembangkan untuk kesejahteraan umat.
"Guru Kasyful melihat bakat dari Guru Tuha -KH Abdul Qadir Hasan- cocok untuk dunia organisasi dan politik. Sehingga, ulama ahli bela diri itu disuruh belajar ke Jombang khusus mendalami bela diri, organisasi, dan perpolitikan," terang Abah Guru banjar Indah -KH Syaifuddin Zuhri-.
Setelah cukup menimba ilmu di Jombang, KH Abdul Qadir Hasan mendirikan NU di Kalimantan Selatan, tepatnya di Martapura pada tahun 1928.
Baca Juga:Setelah Bertemu Syekh Yasin, KH Mahfudz Amin Mau Menonton Televisi
Keberadaan NU di tanah Banjar berperan besar dalam keamanan di Kalsel. Ulama-ulama NU menggalang perlawanan terhadap penjajah yang dikomandoi KH Abdul Qadir Hasan, Tuan Guru Zainal Ilmi, dan Guru Zainal Aqli (Imam tentara Indonesia).
Setelah Indonesia merdeka pun, keberadaan ulama NU terus menebar manfaat. Pasukan pemberontak yang dikenal dengan istilah "gerombolan" dengan mudah dipatahkan tentara Indonesia yang dibantu ulama Banjar.
Baca juga:Mendengar Khotbah Guru Seman, "Pertikaian" Berujung Damai
Ilmu-ilmu hitam seperti kebal puluru dan senjata tajam yang dipakai pemberontak, mudah rontok di tangan ulama Banjar. Bahkan, pemimpin pemberontak dikabarkan bertobat di tangan ulama kala itu.
Editor: Muhammad Bulkini