bakabar.com, JAKARTA – Mari beri apresiasi untuk Rupiah. Kendati masih rawan bergejolak, performa mata uang Garuda dalam sepekan terakhir tak mengecewakan.
Bloomberg Index mencatat keperkasaan rupiah dimulai pada awal pekan lalu dengan bergerak pada level 14.820 per dolar AS. Rupiah terus menguat ke posisi 14.576 pada penutupan perdagangan, Kamis (22/11) kemarin.
Rupiah berhasil masuk dalam tiga besar mata uang terkuat di Asia, bergantian dengan Rupee India dan Renminbi Tiongkok. Di sisi lain, mata uang negara Asia lainnya kompak rontok dari Dolar AS.
Rerata pelemahan Dolar Singapura dan Baht Thailand sebesar 0,15 persen, Peso Filipina sebesar 0,13 persen, Won Korea Selatan 0,09 persen, Ringgit Malaysia 0,08 persen, dan Dolar Hong Kong 0,03 persen. Sementara, Yen Jepang relatif berada pada posisi stagnan.
Para analis pun membuat spekulasi tentang faktor-faktor yang memberi kontribusi terhadap penguatan Rupiah. Berikut beberapa di antaranya:
1. Eropa membuat dolar AS payah
Analis Samuel Sekuritas Ahmad Mikail menyebut pelemahan dolar kemungkinan besarnya terjadi akibat kompromi Italia dengan Komisi Uni Eropa terkait permintaan besaran defisit anggaran untuk tahun 2019.
Komisi Uni Eropa sebelumnya menolak permintaan Italia untuk memperluas defisit anggarannya hingga 2,4 persen karena dianggap berseberangan dengan komitmen untuk mengurangi utang yang dibuat pemerintahan sebelumnya.
Mengutip The Guardian, utang Itali saat ini tercatat mencapai 2,3 triliun Euro. Bank sentral Itali mengumumkan bahwa pembayaran cicilan utang pada tahun ini kemungkinan bertambah menjadi 5 miliar Euro dan 9 miliar Euro pada tahun 2019.
Polemik Italia ini menambah beban bagi mata uang Euro di tengah ketakpastian keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Britania Exit/Brexit). Namun, besarnya harapan drama fiskal Italia ini akan berakhir dalam waktu dekat memberi tekanan pada dolar.
Baca juga :Black Friday, Diskon Gila-gilaan Toko Online
2.Lelang SUN yang cukup baik
Laporan hasil lelang Surat Utang Negara (SUN) memberi semangat pada Rupiah. Ahmad Mikail mengungkapkan, dari hasil lelang SUN, Rabu (21/11/2018), pemerintah berhasil menyerap dana hingga Rp15 triliun dari total penawaran masuk sebesar Rp41,62 triliun.
"Rupiah kemungkinan menguat ke level Rp14.550-Rp14.610," ungkap Ahmad dalam rilisnya yang dikutip Bisnis Indonesia, Kamis (22/11/2018).
Catatan Kementerian Keuangan yang diolah Lokadata Beritagar.id, penawaran masuk SUN cenderung fluktuatif, tinggi pada awal dan akhir tahun serta rendah di pertengahan tahun. Penawaran tertinggi terjadi pada 3 Januari 2018 sebesar Rp86,2 miliar.
Sementara, realisasi SUN oleh negara pernah lebih rendah dari target indikatif yakni pada 8 Mei 2018. Ketika itu pemerintah memutuskan tak membeli SUN sama sekali dengan jumlah penawaran Rp7,1 miliar.
Baca juga :Eksportir Timteng dan Asia Beli Ikan Patin Indonesia Rp145 M
3. Ekonomi AS galau
Analis Valbury Asia Futures Lukman Leong menilai gerak dolar AS saat ini menguat secara terbatas. Faktornya adalah pandangan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), yang mulai khawatir dengan ekonomi AS.
Pandangan ini memberi persepsi kepada pasar bahwa The Fed akan mempertimbangkan kenaikan bunga acuannya pada tahun mendatang.
"Ini sudah terlanjur di-price in juga, jadi mungkin hanya mengurangi antusias, tapi tidak berubah," kata Lukman, dikutip dari laporan CNN Indonesia.
Di sisi lain, perekonomian AS ternyata tidak melacu secepat kebijakan pengetatan moneter yang digenjot The Fed. Perkiraan bahwa AS bakal segera diterpa resesi pada 2020 juga menguat.