Berperan sebagai referensi bagi masa yang akan datang, belajar Sejarah lebih mengasikan sambil berwisata mengenal alam dan masyarakat di Bumi Antaludin.
HN Lazuardi, KANDANGAN
Matahari redup di pagi Senin (30/12), kehangatan justru datang dari warga desa sekitar Wisata Cekdam Tayub yang menyambut mahasiswa yang baru bangun dari letihnya perjalanan kemarin.
Kehangatan itu terdengar dari percakapan-percakapan, “bacuur” antar mahasiswa yang sedang menikmati minuman hangat dengan warga setempat.
Sebagian mahasiswa rupanya juga mempunyai kerabat di desa itu.
Tiba waktunya, perjalanan pun dimulai. Lewat tengah hari mereka berkumpul di depan camp.
Hairiyadi, dosen sejak 1985 di PSP Sejarah FKIP ULM kembali memberi pengarahan penelusuran di hari kedua.
“Rute dari sini (camp) menuju Benteng Madang. Kemudian kembali lagi ke Tayub,” kata dosen yang sering menjelajah alam dan melihat kebudayaan di hulu sungai ini dihadapan ratusan mahasiswanya.
Untuk menuju Benteng Madang, para mahasiswa diberi rute yang menantang. Kembali melewati kaki pegunungan Meratus seputaran Kecamatan Padang Batung.
Sekitar pukul 15.30 Wita, para mahasiswa baru benar-benar melewati semak-semak dan tanjakan di Gunung Madang. Hingga akhirnya tepat di depan pintu masuk Benteng Madang mereka berkumpul.
Sembari menghela nafas, para mahasiswa kembali disuguhi tanjakan. Sekitar 400 anak tangga akan dinaiki para mahasiswa untuk dapat melihat langsung Benteng Madang peninggalan Tumenggung Antaludin.
Tak jarang mereka mengabadikan momen kebersamaan dengan berswafoto.
Sesampai di atas gunung, tempat berdirinya benteng itu, dua mahasiswa senior, Aditya Riswan Effendi (2009) dan Fakhrin mengambil tempat untuk menceritakan perjuangan Pangeran Antasari, Tumenggung Antaludin dan Demang Lehman.
Awal berdirinya benteng itu diperkirakan pada Agustus 1860, atas permintaan Pangeran Antasari, pemimpin perang banjar pada 1857.
Berbagai saran dan masukan oleh Pangeran Antasari, Pangeran Hidayat dan Demang Lehman mengharuskan Tumenggung Antaludin menyusun kekuatan dan pertahanan.
Terpilihlah tempat sebagai benteng pertahanan di Pegunungan Meratus tepatnya di Gunung Madang, dataran tertinggi di wilayah itu.
Memiliki luas lahan sekitar 400 meter kubik, didirikanlah benteng yang terbuat dari kayu madang 2 tingkat, dan dinamakan Benteng Madang.
Wilayahnya saat itu dipenuhi semak belukar dan dipenuhi jebakan agar tidak mudah dimasuki penjajah, serdadu Belanda.
“Tempat ini terpilih karena strategis untuk pertahanan. Berada di ketinggian dan dapat melihat di sekelilingnya dengan mudah,” ujar Aditya.
Tibalah pertempuran di sekitar Gunung Madang pada September 1860. Serdadu Belanda yang dipimpin Kapten Koch. Dia curiga dengan pergerakan di Madang dan langsung mengadakan patroli.
“Tercatat sebanyak 5 kali serangan oleh Belanda. Namun selalu berhasil dipukul mundur oleh Pasukan Pangeran Hidayatullah, Demang Lehman dan Laskar Tumenggung Antaludin,” tutur Aditya.
Cukup lama Belanda melakukan penyerangan ke benteng itu, hingga akhirnya tak dapat lagi dibendung.
Sebagai bentuk strategi pada pertempuran terakhir (22 September 1860) Laskar Antaludin menyerang sambil mengosongkan benteng dan memerintahkan pasukan pergi ke kaki Meratus lainnya.
Benteng ini tak seperti dulu lagi yang terbuat dari kayu madang. Namun sudah terbuat dari semen dan diukir persis seperti kayu madang.
Letaknya pun tak setinggi dahulu. Sebab kondisi tanah yang sudah longsor.
Situs Benteng Madang ini pun sudah dikelola oleh pemerintah setempat sebagai cagar budaya.
Tak sulit menuju situs ini. Baik roda dua maupun empat bisa digunakan untuk menuju tempat itu.
Berjarak sekitar 8,5 kilometer dari pusat kota HSS, wisatawan bisa langsung mengakses lokasi.
Hanya saja untuk mencapai benteng, wisatawan harus menaiki ratusan anak tangga tadi. Walau begitu, jerih payah menaiki anak tangga akan terbayar dengan pemandangan alam yang luar biasa, hamparan hijau, bukit-bukit dari ketinggian terlihat. Serta berbagai kisah menarik perjuangan Laskar Antaludin pun akan ditemui dari tuturan masyarakat setempat.
Selesai mendengar cerita Perjuangan Tumenggung Antalaudin, para mahasiswa kembali ke camp untuk beristirahat.
Baca Juga: Wisata Sembari Mengenang Sejarah (1), Mahasiswa ULM Telusuri Gua Mandala
Baca Juga: Ketika Polisi di Kandangan Tanam Ribuan Pohon
Editor: Muhammad Bulkini