bakabar.com, JAKARTA – Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mendorong agar pemerintah membuat program konseling pranikah bagi calon pasangan yang hendak membangun rumah tangga.
Hal itu dia sampaikan karena melihat banyaknya kasus perceraian di Indonesia.
“Dalam konteks ini perlu digalakkan lagi adanya semacam kelas konseling pranikah dalam konseling tersebut perlu diajarkan hal-hal paling krusial dalam perkawinan. Misalnya tujuan perkawinan, hak dan kewajiban, serta cara saling memahami pasangan masing-masing, seluk-beluk kesehatan reproduksi dan persalinan kesehatan ibu hamil dan anak,” katanya dalam “Seminar Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Peningkatan Kualitas SDM Indonesia”, yang disiarkan dalam YouTube Kemen PPPA, Kamis (18/3/2021).
Maruf Amin mengatakan perkawinan perlu dipersiapkan secara matang agar tercipta keluarga yang harmonis dan bahagia.
“Bahkan, apabila diperlukan, dibuat aturan bagi calon pasangan perkawinan harus lulus kelas konseling pranikah, baru boleh nikah. Ini supaya dia siap betul,” tambahnya.
Ma’ruf mengatakan pernikahan merupakan suatu yang luhur dan sakral karena bermakna ibadah kepada Allah SWT. Menurutnya, pernikahan juga harus didasari keikhlasan, tanggung jawab, dan ketentuan sesuai hukum syariah serta hukum positif.
“Perintah nikah merupakan implementasi salah satu menjaga keturunan. Kendati demikian, sangatlah penting bagi yang hendak melangsungkan perkawinan, pernikahan untuk memahami petunjuk agama dan negara serta memiliki bekal pengetahuan yang memadai agar pernikahannya sesuai dengan syariah dan memiliki kesiapan lebih baik untuk memiliki keturunan serta rumah tangga yang sejahtera,” ucapnya.
Dia menilai hal paling utama yang harus disiapkan sebelum perkawinan adalah kematangan. Ma’ruf menyebut calon mempelai harus memiliki kematangan mental terkait dengan pengetahuan dan kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai suami-istri untuk melaksanakan perkawinan dan hidup bersama membina sebuah keluarga.
“Kemampuan yang dimaksud dalam hadis itu juga tidak hanya berarti kesiapan fisik semata, yang sering kali hanya sebatas fisik reproduksi, termasuk kehamilan dan persalinan. Kemampuan yang dimaksud jangan dimaknai secara kuantitatif semata, tapi harus dimaknai secara lebih kualitatif. Artinya, kemampuan di sini harus dimaknai adanya kematangan individu secara fisik dan mental,” katanya.
Lebih jauh Ma’ruf menyebut kurangnya kemampuan berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti ancaman kesehatan reproduksi, keselamatan persalinan, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, mencegah anak agar tidak mengalami stunting akibat tidak terpenuhi kebutuhan nutrisinya, sehingga menciptakan generasi yang lemah.
“Dalam perkawinan sering kali yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Dalam perkawinan, yang tidak sehat kedudukan perempuan menjadi sangat lemah. Sehingga tidak memiliki posisi tawar dalam mengelola keluarga. Perempuan tergantung secara ekonomi, tidak memiliki kesempatan terbaik untuk menyediakan gizi bagi keluarga dan anak-anaknya,” katanya.