bakabar.com, BANJARMASIN – Sikap fraksi-fraksi di DPRD Banjarmasin seakan terbelah dalam merespons terbitnya UU Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan.
Sebelumnya, UU ini menuai banyak kritik tajam karena bermuatan pemindahan ibu kota Kalsel. Apalagi kalau bukan pembahasannya yang dinilai Wali Kota Ibnu Sina sangat amat sepihak.
Meski mengisyaratkan setuju terhadap penolakan UU Provinsi itu, Ketua DPRD Banjarmasin, Harry Wijaya mencoba bijak menyikapi perbedaan pendapat di kalangan legislator.
“Insya Allah pada Kamis (24/3), DPRD dan Pemerintah Kota, kita akan rapat paripurna,” kata politikus PAN ini, Selasa (22/3).
“Karena untuk mengajukan judicial review (JR) harus ada persetujuan bersama,” tambahnya.
Update Rencana Gugatan UU Pemindahan Ibu Kota Kalsel, BLF-Forkot Sabar Dulu..
Dalam paripurna, nantinya DPRD Banjarmasin akan meminta pandangan dari semua fraksi partai, tanpa terkecuali.
“Kalau sudah sepakat untuk dibawa JR ke Mahkamah Konstitusi, maka akan kita serahkan semua teknisnya ke Pemkot Banjarmasin,” katanya.
Paripurna tetap dilakukan, kata Harry, sekalipun mayoritas anggota DPRD Banjarmasin sudah setuju dengan langkah Pemkot Banjarmasin menggugat rencana pemindahan ibu kota Kalsel.
“Ini sebagai tahapan karena harus tetap sesuai prosedur,” katanya.
Kendati begitu, Harry berjanji akan tetap menerima semua perbedaan sudut pandang dari para anggotanya.
“Ini belum mutlak. Karena akan ada pandangan-pandangan lain. DPRD ini sifatnya kolektif kolegial. Jadi kita tunggu pandangan fraksi yang ada di Banjarmasin,” katanya.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Fraksi Gerindra DPRD Banjarmasin, Isnaini menegaskan pihaknya tetap bersikap sama; menolak UU Provinsi Kalsel terbaru karena bermuatan pemindahan ibu kota.
“Ya, saya rasa tidak ada dari anggota dewan yang setuju untuk pemindahan ibu kota, itu sama saja penghianatan terhadap aspirasi masyarakat Banjarmasin,” ujarnya, Selasa (22/3) malam.
"Secara nilai historis budaya Banjarmasin ini sangat erat hubungannya dengan Kalsel. Kerajaan Banjar pun letaknya di sini," sambung ketua Komisi III DPRD Banjarmasin ini.
Lebih jauh, Isnaini menilai, dasar hukum memindah ibu kota ke Banjarbaru juga cacat prosedur. "Dari analisis pakar ada pasal selundupan," katanya.
Serupa Ibnu Sina, Isnaini juga dibuat bertanya-tanya mengenai siapa sosok yang meloloskan pasal atau usulan tersebut. Sekali lagi, Isnaini menegaskan daerah sama sekali tak dilibatkan selama pengusulan, pembahasan, hingga penetapannya.
Isnaini melihat rencana pemindahan ibu kota mestinya tidak bisa bersandar keinginan semata. Harus dikaji mendalam dari sejumlah aspek.
"Meski kita dulu mendukung untuk memindah pusat pemerintahan. Tapi tidak untuk ibu kota. Karena tidak ada urgensinya," katanya.
Agak berbeda dengan Harry dan Isnaini, pimpinan DPRD lainnya Matnor Ali masih belum bersikap.Selain menyerahkan keputusan pada hasil paripurna nanti, Matnor akan lebih dulu merapatkannya dengan petinggi partai ‘Beringin’ Banjarmasin.
“Saya sudah meminta untuk ketua fraksi [Golkar] untuk komunikasi ke partai,” ujar Matnor, Selasa malam.
Di sisi lain, Ketua Fraksi Golkar Darma Sri Handayani mengaku belum mendapat petunjuk dari partai mengenai sikap Golkar atas rencana pemindahan ibu kota Kalsel.
“Kami masih menunggu arahan dari partai karena kami perpanjangan tangan dari partai,” ujarnya dihubungi terpisah.
Awal Februari kemarin, DPD Golkar Kalsel sendiri sudah mengisyaratkan setuju pemindahan ibu kota ke Banjarbaru.
Hal tersebut diutarakan Sekretaris DPD Golkar Kalsel, Supian HK. “Dengan pindahnya ibukota Kalsel ke Banjarbaru, mungkin pengembangan Banjarmasin bisa lebih fokus sebagai kota niaga atau perdagangan dan jasa, karena memiliki pelabuhan laut,” ujarnya kepada bakabar.com, Minggu (20/2).
Secara geografis kata dia penduduk di Banjarmasin sudah padat. Banjarmasin juga berada di bawah permukaan laut. Ketika hujan turun bersamaan dengan air pasang beberapa kawasan jadi terendam dan lambat kering.
“Keadaan tersebut menjadi kurang enak sebagai sebuah ibukota provinsi yang tak luput dari kunjungan tamu,” ujar ketua DPRD Kalsel ini.
Sementara Banjarbaru secara geografis berada pada dataran tinggi. Sehingga relatif lebih mudah penataan pembangunan.
“Karena selain memiliki lahan yang luas sehingga mudah untuk pengembangan, juga merupakan daerah yang sedang tumbuh dan berkembang,” lanjutnya.
Karenanya, kata Supian HK, tidak salah sejak dulu ada rencana memindahkan ibu kota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru.
Ide Banjarbaru sebagai ibu kota, kata dia, sudah ada sejak zaman Gubernur Murdjani. Dilihat dari beberapa kantor tingkat provinsi berkedudukan di Banjarbaru.
“Kemudian digagas kembali masa Gubernur H Rudy Ariffin untuk membuat pusat perkantoran Pemprov Kalsel di Banjarbaru, dan diback-up Gubernur H Sahbirin Noor atau Paman Birin,” tambahnya.
Tenggat Waktu Gugatan
Emak-Emak Se-Kelayan Tolak Pindah Ibu Kota Kalsel: Ketulahan, Ketulahan!
Wali Kota Banjarmasin H Ibnu Sina menyatakan siap melakukan uji materi atas UU Provinsi Kalsel terbaru ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan sebagai representasi aspirasi warganya.
Salah satunya lewat Dewan Kelurahan (DK)-Forum Kota (Forkot) Banjarmasin yang menggandeng advokat Borneo Law Firm (BLF). Kini, mereka hanya punya waktu kurang dari 45 hari untuk menggugat UU Provinsi Kalsel terbaru.
Sebagaimana diketahui, dasar hukum pemindahan ibu kota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru baru ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 16 Maret 2022.
Adapun UU Provinsi Kalsel Nomor 8/2022 terdiri dari 8 pasal 3 bab dan masuk Lembaran Negara Tahun 2022 Nomor 68. Bab II Pasal 4 menyebut ibu kota Provinsi Kalsel berkedudukan di Banjarbaru.
Mengacu Pasal 9 ayat (2) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, permohonan uji formil diajukan maksimal 45 hari sejak UU atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
"Kami finishing sampai akhir Maret ini target judicial review, karena banyak kajian-kajian dan substansi yang harus dipertajam," kata Direktur BLF, M Pazri dihubungi bakabar.com, Selasa (22/3).
Pazri melihat banyak kejanggalan. Termasuk UU enam provinsi lainnya: Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
"Janggal, ke semuanya hanya ada delapan pasal," jelas Pazri.
Meski ditandatangani Presiden Jokowi, UU itu menurutnya, menjadi gambaran dugaan proses legislasi yang ugal-ugalan.
"Karena ingin cepat sampai, kilat dan selesai, sehingga dugaan segala cara dihalalkan supaya undang-undang ini cepat ada, tidak memperhatikan kebutuhan daerah dan partisipasi masyarakat," ujarnya.
Khusus UU 8/2022 tentang Provinsi Kalsel, kata Pazri, padahal dalam masih bentuk rancangan undang-undang (RUU) terdapat 58 pasal.
Menurutnya, pemindahan ibu kota Kalsel tidak melalui kajian khusus. Kemudian juga tidak melibatkan seluruh kepala daerah serta DPRD 13 kabupaten/kota.
"Minimnya partisipasi masyarakat, tidak ada uji publik, pembahasan yang tidak terbuka, dokumen RUU yang sulit diakses di Website DPR RI," bebernya.
UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan, kata dia, jelas tidak mengakomodir landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan yuridis dan historis.
Dasar hukum ini, menurutnya, sangat tidak lengkap dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
"UU yang baru disahkan hanya delapan pasal dan terdiri dari Bab I Ketentuan Umum, Bab II Cakupan Wilayah, Ibu Kota dan Karakteristik dan Bab III Ketentuan Penutup," tuntasnya.
Berikut sederet cacatan kritis BLF soal UU Nomor 8 Tahun 2022 Provinsi Kalsel:
- Bab ketentuan umum tidak menguraikan secara lengkap istilah-istilah
- Asas dan tujuan dalam Undang-Undang tidak ada
- Posisi, batas, pembangunan wilayah dan tujuan provinsi tidak jelas secara detail menyebutkan lintang, derajat serta batas-batas, ketika sengketa batas antar provinsi akan jadi masalah baru
- Karaketristik Provinsi Kalsel masih belum jelas, karena tidak melihat kearifan lokal dan nilai budaya sebenarnya
- Kewenangan dan Pembagian Urusan Pemerintah Provinsi dalam UU tidak ada
- Perencanaan pembanguan tidak ada. Padahal pindah ibu kota dari Banjarmasin ke Banjarbaru
- Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP) tidak dimuat
- Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP) tidak ada
- Pola dan pembangunan Provinsi Kalsel tidak ada
- Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kabupaten/Kota tidak ada
- Pedoman penyusunan dokumen pembangunan tidak ada
- Pedoman pendekatan pembangunan tidak ada
- Bidang prioritas tidak ada
- Pembangunan perekonomian dan industri tidak ada
- Sistem pemerintah berbasis elektoronik tidak ada. Padahal seharusnya sejalan dan bekesesuaian dengan rencana pemerintah pusat
- Pendanaan,pendapatan dan alokasi dana perimbangam tidak ada.
- Bab Partisipasi Masyarakat tidak ada. (*)
Dilengkapi oleh Syaiful Riki, dan Rizal Khalqi
Ramai-Ramai Gagalkan Pemindahan Ibu Kota Kalsel: Forkot Siap, DPRD Bulat