bakabar.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) buka-bukaan data soal utang Indonesia. Staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengungkapkan utang Indonesia yang mencapai lebih dari Rp7.000 triliun didapatkan dari dalam negeri.
Yustinus juga menjelaskan sebagian besar utang Indonesia pun bentuknya dalam mata uang rupiah. Hal ini membuat risiko melambungnya utang karena pelemahan rupiah masih bisa diminimalisir.
Hal itu, kata Yustinus untuk merespons pernyataan Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyebutkan Indonesia membayar utang hingga Rp1.000 triliun lebih per tahun. Melalui akun twitternya, Yustinus memaparkan 10 fakta terkait itu.
"Sepuluh Fakta Keras tentang Utang Indonesia! Ini sekaligus tanggapan untuk Pak @Pak_JK dan mereka yang sering membahas nominal utang tapi sengaja mengabaikan fakta di sekitarnya," tulis Yustinus Prastowo dalam utas panjang lewat akun twitter @prastow, dikutip Senin (5/6).
Yustinus menambahkan, "FAKTA PERTAMA: Kita tidak mengeluarkan Rp1.000 T per tahun untuk membayar utang seperti yang disampaikan oleh Pak JK. Bu Sri Mulyani sudah merespon ini."
Dalam pembayaran pokok dan bunga utang, menurut Yustinus pemerintah sangat berhati-hati dan terukur agar kemampuan bayar dan kesinambungan fiskal tetap terjaga.
Fakta berikutnya, kata Yustinus, rasio utang terhadap PDB per April 2023 turun menjadi 39,17% dari 39,57% (Des 2022). Kebijakan countercyclical penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi membuat rasio utang meningkat, pada 2020 sebesar (39,4% PDB) dan 2021 menjadi (40,7% PDB).
Kemampuan recovery yang baik telah membuat ekonomi Indonesia mampu bangkit, sekaligus menurunkan debt ratio. "Pada 2021, rasio utang Indonesia (40,7%) jauh di bawah rerata emerging market. China bahkan menyentuh 71,5%," ungkapnya.
Fakta ketiga, Yustinus menjelaskan jika Indonesia sangat patuh terhadap aturan fiskal. Hal itu mengakibatkan angka PDB Indonesia lebih besar dari pada utang.
"Konsekuensinya, kenaikan PDB Indonesia LEBIH BESAR daripada utang, di saat mayoritas negara ASEAN dan G20 mengalami kenaikan utang yang lebih tinggi daripada PDB," tulisnya.
Fakta selanjutnya, kata Yustinus, sebagai 'efek pengganda yang besar'. Pasalnya di kurun waktu 2018-2022, saat dunia krisis akibat pandemi, utang pemerintah mampu menghasilkan multiplier effect bagi perekonomian sebesar 1,34.
"Capaian ini lebih baik dibandingkan banyak negara, termasuk AS, Tiongkok, dan Malaysia," ungkapnya.
Selanjutnya, sebagai fakta kelima, Yustinus membeberkan 73% utang Indonesia berasal dari dalam negeri dalam bentuk uang rupiah. Jumlahnya per April 2023 mencapai Rp5.720,9 triliun.
Dari jumlah sebanyak itu, utang terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp22,5 triliun dan pinjaman lewat surat berharga negara (SBN) domestik sebesar Rp5.698,4 triliun.
"73% utang Indonesia berasal dari SBN domestik. Tentu hal ini baik untuk menekan market risk dari melambungnya nilai utang karena pelemahan rupiah," tulisnya.
Fakta keenam, ungkap Yustinus, risiko utang Indonesia menurun tajam. Hal itu ditandai dengan debt service ratio (DSR) dari 2020 sebesar 47,3% menjadi 34,4% pada tahun 2022 dan menurun lagi per April 2023 menjadi 28,4%.
"DSR adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan," paparnya.
Sementara itu, interest ratio (IR) merupakan rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan, juga ikut menurun. Tercatat dari 19,3% pada 2020 menjadi 14,7% pada 2022 dan 13,95% per April 2023.
"Penurunan DSR dan IR ini menunjukan bahwa kemampuan APBN dalam membayar biaya utang (pokok dan bunga) semakin menguat.
Adapun fakta ketujuh, rating Indonesia masih dipandang reliable dalam pengelolaan utang. Terbukti lembaga-lembaga pemeringkat kredit seperti Standard & Poor's, Moody’s, dan Fitch memberi rating BBB/Baa2 untuk Indonesia.
"Dengan outlook stabil, di saat banyak negara mengalami downgrade," kata Yustinus.
Fakta kedelapan, Yustinus menjelaskan manfaat melebihi utang. Sepanjang 2015-2022, penambahan utang sebesar Rp5.125,1 triliun. Angka itu dianggap masih lebih rendah dibandingkan belanja prioritas (Perlinsos, Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur) sebesar Rp 8.921 triliun.
Sebagai fakta kesembilan, Yustinus mengungkapkan pertumbuhan aset yang nilainya melebihi penambahan utang. Hal itu menunjukkan pembangunan infrastruktur terus menjadi salah satu prioritas sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi.
"Selain itu, utang juga digunakan untuk ketersediaan sarana pendidikan dan kesehatan untuk mendukung pembangunan kualitas SDM," tulisnya.
Terakhir, ujar Yustinus, utang BUMN bukanlah beban APBN. Mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
"Segala utang yang timbul atas corporate action merupakan tanggung jawab BUMN yang bersangkutan dan bukan merupakan utang negara," tulisnya.
Dengan paparan itu, Yustinus mengajak setiap orang untuk terus menjaga api optimisme, merawat harapan, seraya terus waspada dan berdoa. Termasuk tidak mudah untuk ditakut-takuti dan dikerdilkan.
"Indonesia bangsa besar. Kita punya visi besar. Pancasila adalah pandu, penunjuk arah menuju cita-cita kemerdekaan," tandasnya.